Selasa, 04 November 2008

Proses Perancangan (Design Process)

Pada dasarnya setiap manusia dalam kehidupan se-hari2nya selalu
menghadapi masalah dan sebagian kegiatan hidupnya berkaitan dengan
penyelesaian masalah (problem solving). Demikian juga dengan para
professional dalam melakukan tugasnya pasti juga berhadapan dengan
penyelesaian masalah.

Seorang insinyur dan iptekwan (profesional dibidang sains dan
teknologi) pada dasarnya adalah penyelesai masalah dibidang iptek.
Masalah utama yang dihadapi seorang insinyur adalah masalah yang
melibatkan penciptaan produk atau alat baru, alias perancangan dan
pembuatan produk baru, dimana produk tersebut bisa berbentuk benda,
atau perangkat lunak dan bahkan diagram organisasi ataupun gambar
cetak biru dan model skala kecil arsitektur sebuah gedung baru dan
lain sebagainya. Walaupun ada insinyur yang bekerja dibidang
produksi dan benar2 terlibat dalam proses pembuatan peralatan secara
langsung, tetapi sebagian besar insinyur umumnya bekerja dibidang
perancangan.

Perancangan adalah contoh dari penyelesaian masalah yang berbasis
ilmiah alias dilakukan dengan menerapkan metodologi ilmiah. Jadi per-
tama2 kita harus memeriksa dulu apa sebenarnya tahapan2 dalam
metodologi ilmiah itu . Pada dasarnya tahapan dalam metodologi
ilmiah dapat diringkas sebagai berikut.

1. Perumusan masalah (problem definition)
2. Studi literatur atau pengumpulan data dan informasi yang
relevan dengan masalah
3. Pengajuan hipotesa yang diperkirakan dapat menyelesaikan
masalah
4. Pengujian apakah benar hipotesa dapat menyelesaikan masalah
5. Kalau hipotesa gagal dalam pengujian lompat kembali ke tahap
2

Dalam perancangan pesawat yang melibatkan kreativitas mencipta
produk baru, tahap2 diatas perlu diubah sedikit sebagai berikut.

1. Perumusan masalah dalam perancangan harus mencakup
menetapkan fungsi2 apa saja yang harus dimiliki produk baru itu,
kendala2 apa saja yang harus diterapkan dalam menentukan pilihan
rancangan apa saja yang diperbolehkan dan juga tingkat kinerja dan
efisiensi dari produk yang harus dicapai.

2. Pengumpulan data harus mencakup informasi tentang
persyaratan2 khusus dan batasan2 masalah yang berlaku, ciri2 produk
lain yang sudah ada dan berfungsi mirip, teknologi2 apa saja yang
sudah ada dan tersedia, dan metoda2 analisis apa saja yang tersedia
untuk menilai atau mengevaluasi hasil perancangan.

3. Kalau dalam sains kita harus mencari dan mengusulkan
hipotesa, maka dalam proses perancangan kita harus menciptakan
rancangan atau konsep rancangan. Proses kreatif inilah yang disebut
sintesis dimana semua pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki
digabungkan untuk menciptakan sesuatu yang baru, yang belum ada
sebelumnya. Rancangan hasil kreativitas proses sintesis tersebut
selanjutnya harus dijabarkan, direkam dan secara umumnya harus
dikomunikasikan pada pihak2 atau kelompok2 kerja lainnya.
4. Pengujian hipotesa dalam perancangan melibatkan pengujian
apakah rancangan secara fisik dapat dibuat atau diproduksi, apakah
prosesnya ekonomis, dan memenuhi persyaratan rancangan (design
requirements). Ini berarti bahwa kriteria yang harus dipenuhi supaya
lolos uji harus sudah dijabarkan dalam tahap 1, perumusan masalah,
disamping dalam tahap 4 atau pengujian rancangan. Kriteria ini
mencakup hal2 seperti kendala biaya, kendala produksi yaitu secara
fisik dapat dibuat tanpa kesulitan yang berlebihan, dan memenuhi
persyaratan kinerja rancangan. Kriteria lolos uji ini dikenal
sebagai measures of merit atau tolok ukur hasil, dan nilai yang
diberikan biasanya dikenal sebagai figure of merit atau nilai
keberhasilan.

5. Tahap terakhir proses perancangan harus disesuaikan
mengingat bahwa sebelum mencapai hasil akhir, proses perancangan
harus di iterasi atau di ulang ber-kali2. Setiap putaran iterasi,
mulai dari pengumpulan data sampai pengujian tahap 4, harus
menghasilkan data2 baru yang diperlukan untuk melakukan perbaikan2
berikutnya. Jadi dalam tahap 5 ini kita harus membuat keputusan
mengenai apakah rancangan akan berfungsi seperti yang diharapkan,
bagian2 rancangan mana saja yang kurang baik dan perlu diperbaiki
atau diubah, atau dari beberapa kemungkinan konsep perancangan
konsep2 mana saja yang punya potensi terbaik untuk dapat
dikembangkan dan disempurnakan lebih lanjut. Bisa jadi dalam tahap 5
ini kriteria lolos uji yang telah ditentukan sebelumnya perlu dikaji
ulang untuk menentukan apakah kriteria tersebut tidak terlalu
berlebihan dan perlu diubah.

Jadi proses perancangan dengan metodologi ilmiah dapat diringkas
sebagai berikut.

1. Perumusan masalah
2. Pengumpulan data
3. Terapkan kreativitas atau lakukan sintesis untuk 1 atau
lebih konsep rancangan
4. Lakukan analisis atau pengujian
5. Buat keputusan. Kalau rancangan belum memuaskan, lakukan
perubahan2 yang diperlukan dan ulang lagi dari awal mulai tahap 2.
Ini diulang ber-kali2 atau diiterasikan sampai akhirnya rancangan
yang memuaskan telah diperoleh.

Kalau diperhatikan baik2, dapat dilihat bahwa proses perancangan
melibatkan 3 kegiatan yaitu sintesis, analisis dan pengambilan
keputusan. Sintesis adalah kegiatan yang bersifat kreatif dengan
aturan yang sulit dirumuskan ataupun dijelaskan. Disisi lain
analisis dan pengambilan keputusan adalah kegiatan yang sangat
beraturan dan melibatkan pemikiran yang runtut dan formal. Perancang
dan kelompok perancang yang sukses adalah mereka yang mampu
melakukan kedua cara berpikir yang berbeda secara mendasar tersebut.

Tahapan Perancangan (Design Phases)

Proses perancangan biasanya dapat dikatakan terdiri dari 3 tahapan,
yaitu

1. Tahap rancangan konsep(conceptual design).
2. Tahap rancangan awal (preliminary design).
3. Tahap rancangan rinci (detail design)

Tujuan dari rancangan konsep adalah memilih sebuah konsep yang dapat
diwujudkan dan kemudian di optimasikan sejauh mungkin. Sebagai
contoh, tahap ini mungkin dimulai dengan beberapa goresan tangan
pada selembar kertas yang menggambarkan konsep sebuah pesawat yang
ada dibenak perancang, untuk memenuhi suatu kebutuhan yang telah
ditentukan sebelumnya. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut boleh jadi
perancang akan membuat 5 atau lebih sketsa yang saling berbeda,
tetapi masing2 nya dipandang oleh perancang memiliki potensi untuk
dikembangkan lebih lanjut supaya bisa menyelesaikan masalah yang
telah dirumuskan sebelumnya.
Masing2 konsep akan dikembangkan dan diuji, dan akhirnya keputusan
akan diambil untuk menentukan konsep mana yang dianggap punya
potensi terbaik untuk dikembangkan lebih lanjut dan akhirnya akan
mampu memenuhi semua persyaratan perancangan dengan sangat memuaskan.

Setelah sebuah konsep tertentu dipilih, maka konsep tersebut perlu
dikembangkan lebih lanjut dalam tahap berikutnya yaitu tahap
rancangan awal. Dalam tahap ini beberapa putaran proses perancangan
perlu di-ulang2 untuk menentukan pilihan material, bentuk, dimensi
atau ukuran, struktur dan fungsi2 dari rancangan. Tahap ini disebut
tahap rancangan awal. Hitungan dan simulasi dengan komputer perlu
dilakukan dalam tahap ini, dan demikian juga model fisik skala kecil
dari rancangan dibuat dan diuji. Dalam tahap ini survei pasar akan
dilakukan untuk melihat apakah rancangan dengan fungsi dan kinerja
yang telah dihitung sesuai dengan kebutuhan pasar yang ada atau
tidak. Masukan dari survei pasar akan menjadi tambahan data untuk
memperbaiki rancangan dalam putaran berikutnya. Ini dilakukan sampai
rancangan terakhir yang diperoleh dirasa telah mencapai titik
optimal dan proses perancangan awal ini dihentikan atau dibekukan
(frozen). Rancangan optimal tersebut kemudian ditawarkan ke para
calon pembeli. Kalau ternyata jumlah calon pembeli dan jumlah
pesawat yang akan dibeli memenuhi persyaratan bisa mencapai titik
impas maka perusahaan akan membuat keputusan "to go ahead" alias
melanjutkan proses perancangan ke tahap selanjutnya yaitu tahap
perancangan rinci. Saat pengambilan keputusan yang kritis ini sering
disebut sebagai saat perusahaan mempertaruhkan kelanjutan hidupnya.
Biaya yang dikeluarkan untuk tahap rancangan akhir itu sangat besar
dan melibatkan banyak orang. Kalau perusahaan membuat keputusan yang
salah dan melanjutkan rancangan ke tahap rancangan rinci dan
kemudian memproduksinya, dan ternyata pembelinya jauh lebih sedikit
dari yang diperkirakan maka perusahaan bisa jadi akan bangkrut.
Sebagai contoh biaya research and development pesawat Airbus A380
dikatakan mencapai angka fantastis sebesar US$14 milyar, sedangkan
Boeing diperkirakan menghabiskan antara US$8 sampai 10 milyar untuk
mengembangkan pesawat Boeing 787.

Dalam tahap perancangan rinci, semua yang diperlukan dalam persiapan
membuat produk dilakukan. Rancangan akan dijabarkan secara rinci,
sampai ke komponen2 paling kecilnya dan material, peralatan produksi
dan metoda produksinyapun perlu dijabarkan. Satu set gambar cetak
biru, daftar material dan rincian perkiraan biaya yang dibutuhkan
harus disiapkan. Kemudian 1 atau lebih pesawat prototip dibuat dan
diuji, baik uji struktur beban statik ataupun uji beban dinamik
(fatigue atau kelelahan logam),dan uji terbang akan dilakukan.
Proses produksi yang dilakukan dikaji ulang dan lebih disempurnakan
dalam persiapan untuk produksi dalam jumlah besar nantinya. Hasil2
pengujian tersebut dipakai untuk memperbaiki rancangan dalam
putaran2 proses perancangan yang terus dilakukan. Untuk perusahaan
yang belum cukup pengalaman seperti PTDI jumlah prototip untuk uji
terbang yang perlu dibuat bisa mencapai lebih dari 4 pesawat,
sedangkan Boeing dan Airbus mungkin hanya butuh 1 pesawat saja.
Disamping itu dibutuhkan juga prototip pesawat yang perlu diuji
darat seperti uji kekuatan struktur dan uji kelelahan struktur.
Untuk menentukan respon struktur pesawat terhadap goncangan2 maka
perlu juga dilakukan uji vibrasi atau getaran didarat. Untuk
meyakinkan bahwa kaca dikokpit tak akan pecah kalau pesawat menabrak
burung, maka dilakukan juga uji "bird strike" dimana ayam dengan
berat tertentu (sekitar 2 kg) ditembakkan dengan meriam bertekanan
tinggi dan menghantam kaca kokpit pada kecepatan tertentu sesuai
dengan kecepatan pesawat saat sedang terbang. Pesawat juga diuji
supaya aman terhadap masalah terasambar petir. Kalau tahap rancangan
konsep hanya melibatkan beberapa gelintir insinyur saja, maka tahap
rancangan awal melibatkan ratusan insinyur sedangkan tahap rancangan
rinci akan melibatkan ribuan insinyur. Inilah sebabnya mengapa
rancangan rinci membutuhkan biaya yang sangat besar dan tidak akan
dilakukan oleh perusahaan kalau tidak benar2 yakin bahwa hasilnya
nanti adalah pesawat yang akan laku dipasaran dan terjual dalam
jumlah yang cukup besar untuk menutup biaya research and development
(yang mencakup ke 3 fase perancangan tadi ditambah biaya pengujian2
yang diperlukan ditambah pembuatan prototip dlsbnya, disamping biaya
uji terbang dan proses sertifikasi).
Dalam menanggapi tantangan Airbus yang beberapa tahun lalu
memutuskan untuk memproduksi pesawat superjumbo A380, Boeing
mengajukan usulan membuat pesawat sonic-cruiser berpenumpang 300an
yang mampu terbang dengan kecepatan sekitar Mach 0.95 yaitu sekitar
15% lebih cepat dari pesawat2 yang ada dan terbang pada kecepatan
Mach 0.83 sampai 0.85. Boeing telah melakukan kajian pasaran dan
merasa bahwa pesawat sonic-cruiser akan laku dijual dan menyaingi
A380, karena mampu terbang lebih cepat dengan jarak jangkau yang
bisa melayani penerbangan antara 2 kota dengan jarak terjauh
didunia, dengan efisiensi penerbangan yang tak berbeda banyak.
Itulah sebabnya mengapa Boeing melakukan proses perancangan konsep,
termasuk membuat model skala kecil yang diuji diterowongan angin
dlsbnya. Tetapi setelah rancangan konsep yang paling optimal telah
diperoleh dan ditawarkan ke pasar ternyata respon pasar sangat
dingin. Boeing terpaksa mem peti-es kan program sonic-cruiser
tersebut walaupun telah mengeluarkan biaya yang lumayan besar untuk
upaya research and development yang telah dilakukan. Tetapi Boeing
kemudian menawarkan konsep rancangan lainnya yaitu Boeing 7E7
Dreamliner, yang sekarang dikenal dengan Boeing 787, yang ternyata
cukup populer. Walaupun pesawat ini "hanya" mengangkut 300an
penumpang, jauh lebih kecil daripada A380 yang mampu mengangkut 550
penumpang kelas campur atau 800 orang seluruhnya kelas ekonomi,
tetapi ternyata lebih laku dari A380, dan memaksa Airbus memutuskan
untuk mengembangkan A350 yang secara langsung akan bersaing dengan
Boeing 787.

Proses perancangan rinci itu tak pernah berakhir. Misalnya saja
pesawat Boeing 747 itu dirancang tahun 1960an dan terbang perdana
pada tahun 1969. Pesawat tersebut sampai tahun 2007 ini masih tetap
diproduksi, walaupun tentu saja dalam versi yang berbeda. Versi
terakhirnya yang belum jadi 100% adalah versi SF alias Special
Freight, yaitu untuk mengangkut komponen2 pesawat Boeing 787 yang
diproduksi di Jepang, Australia dan beberapa negara lain. Pesawat
ini berbeda bentuk dari Airbus Beluga tetapi punya fungsi yang sama
yaitu mengangkut komponen2 pesawat yang terlalu besar untuk dapat
diangkut oleh pesawat yang ada. Contoh lain dari pesawat yang laku
keras adalah Boeing 737, yang mulai diproduksi tahun 1970an dan
versi terbarunya adalah Boeing 737-800. Jadi walaupun pesawat itu
telah selesai dirancang rinci serta diproduksi, tetapi tetap selalu
diperbarui rancangannya berdasarkan hasil pengujian pada pesawat
yang sudah ada dan disesuaikan dengan permintaan pasar yang terus
berkembang.
PTDI pun punya CN-235 yang cukup laku (walaupun yang berhasil
menjual adalah CASA), kalau tak salah sekarang sudah menjadi versi
CN235–400 bahkan telah diperbesar (stretched) menjadi CN-295. Sayang
sekali bahwa hasil rancangan PTDI lainnya yaitu N-250 kurang
beruntung dan tidak pernah mencapai tahap produksi siap untuk
dijual. Sebetulnya pesawat ini telah selesai dirancang rinci dan
prototip nya pun sudah dibuat dan diuji macam2 termasuk uji terbang.
Tetapi karena masalah keuangan maka PTDI gagal membuat ke 4 prototip
yang ingin dibuatnya untuk tujuan uji terbang dalam kaitannya dengan
proses sertifikasi FAA. Jadi nasib N-250 adalah menjadi rongsokan
tanpa mendapat sertifikat FAA, dan tak akan ada satu pun N-250 yang
akan beroperasi dengan airlines di mana pun juga.
Seandainya sukses, maka PTDI akan membuat 4 prototip untuk uji
terbang, dan kemungkinan besarnya adalah ke 4 prototip tersebut
tidak sama. Alasannya adalah prototip pertama itu punya banyak
kesalahan yang diperbaiki dalam prototip ke 2 dan seterusnya. Ini
adalah cerminan dari fakta bahwa PTDI kurang berpengalaman dalam
merancang dan membuat pesawat. Lebih dari itu, setelah uji terbang
selesai dan mendapat sertifikat FAA maka ke 4 prototip itu tidak
akan laku dijual ke calon pembeli karena akan cukup berbeda dari
rancangan rinci terakhir yang akan laku dibeli oleh pasar. Ini
berbeda dari prototip pesawat Boeing dan Airbus, yang begitu selesai
uji terbang akan di cat ulang dan diserahterimakan kepada pembeli
pertamanya. Ini bisa dilakukan oleh Boeing dan Airbus, karena
prototip tersebut tidak akan berbeda dari pesawat seri produksinya
setelah menerima sertifikat. Boeing and Airbus telah menggunakan
teknologi digital untuk proses perancangannya, dan mereka sudah
akan "membuat" prototip virtual dan menerbangkannya di komputer dan
melakukan perbaikan2 dalam proses perancangan rinci nya lewat cara
tersebut. Setelah proses perancangan rinci terakhir dengan teknologi
virtual selesai dan rancangan yang memuaskan diperoleh, barulah
Boeing membuat prototip fisik yang dibutuhkannya untuk uji terbang
dalam rangka proses sertifikasi FAA. Dulu IPTN pun ingin menerapkan
teknologi digital seperti itu. Sebuah sub-direktorat di Direktorat
Teknologi (kalau tak salah) telah dibentuk untuk mengkaji masalah
teknologi digital tersebut dan bos nya adalah DR Yono Reksoprodjo
yang anggota milis ini. Disamping Yono ada juga DR. Fetri Miftach,
yang juga menggeluti bidang ini. Sebuah makalah telah ditulis oleh
kedua rekan tersebut (mungkin bekerjasama dengan beberapa orang
lagi?) mengenai program N2130 yang diharapkan akan menggunakan
banyak teknologi digital. Tetapi sayang semuanya itu kandas ditengah
jalan karena krisis ekonomi yang melanda kawasan Asia Tenggara dan
belum juga selesai sampai saat ini di Indonesia.
N2130 adalah contoh dari proses perancangan yang kandas ditengah
jalan. Seingat saya N2130 itu baru pada tahap akhir dari perancangan
konsep, memasuki tahap perancangan awal dan masih jauh dari selesai.
Mungkin saya salah, tetapi setahu saya N2130 saat itu belum masuk
tahap perancangan rinci dan keburu harus dihentikan karena masalah
dana. Inilah sebanya mengapa isu bahwa Embraer menyontek rancangan
N2130 itu cukup menggelikan, karena yang namanya N2130 itu belum ada
atau belum selesai dirancang.

Sebelum menutup bagian ini perlu dibahas masalah mengapa keputusan
diambil oleh sebuah perusahaan untuk melakukan perancangan pesawat
baru.
Pada dasarnya paling tidaknya ada 2 alasan untuk merancang dan
membuat pesawat baru, yaitu: 1. Technology push dan 2. Market demand
pull.
Sains dan teknologi berkembang terus menerus diseluruh dunia.
Kemajuan dibidang sains biasanya terjadi di universitas dan lembaga2
riset. Perusahaan apapun juga pasti selalu memantau perkembangan
iptek yang berkaitan dengan kegiatan bisnis nya. Kalau ada iptek
baru yang menjanjikan maka jelas perusahaan akan berusaha
menguasainya dan kemudian menerapkannya pada pesawat2 yang telah dan
sedang diproduksinya. Jadi umumnya iptek mutakhir akan dimanfaatkan
untuk perbaikan yang bersifat evolusioner, perbaikan dari pesawat
jenis tertentu tetapi berbeda versi, dimana versi lama diberi
perbaikan dengan iptek terbaru dan menjadi versi baru. Tetapi
kadang2 perkembangan iptek terjadi dengan sangat cepat, dan iptek
terbaru dapat menghasilkan kinerja pesawat yang jauh berbeda dari
sebelumnya, tetapi membutuhkan perubahan bentuk dlsbnya yang cukup
signifikan. Kalau ini terjadi maka perbaikan pesawat tidak bisa
dilakukan dari satu versi ke versi berikutnya, tetapi harus lewat
rancangan pesawat baru. Inilah yang disebut technology push atau
dorongan teknologi dalam menumbuhkan keinginan merancang pesawat
baru. Sebagai contoh, tadi telah disampaikan tentang Boeing Sonic
Cruiser dan juga Boeing 787. Airbus tadinya juga hanya ingin membuat
versi baru dari pesawat lamanya untuk bersaing lawan Boeing 787.
Tetapi ternyata ini tidak mungkin karena Boeing benar2 menggunakan
iptek2 terbaru dalam perancangan 787. Oleh karena itu kalau mau
sukses dalam bersaing Airbus juga harus membuat rancangan baru untuk
A350, bukan hanya sekedar perbaikan dari satu versi ke versi
berikutnya.

Tetapi pada umumnya keputusan untuk merancang pesawat baru itu
dibuat berdasarkan alasan market demand pull, alias ditarik oleh
adanya kebutuhan pasar. Kalau tidak ada kebutuhan pasar, walaupun
ada dorongan iptek belum tentu rancangan pesawat baru akan
diteruskan selewat tahap perancangan konsep. Sebagai contoh,
walaupun Boeing merasa bahwa teknologi telah mendorongnya untuk
menawarkan pesawat Sonic Cruiser, tetapi karena pasar sama sekali
tidak menanggapinya maka program pesawat tersebut dipeti-es kan dan
tidak diteruskan.
Pada saat ini teknologi untuk pesawat BWB (Blended Wing Body) sedang
mengalami perkembangan yang sangat pesat. Seandainya nanti ada
tarikan dari kebutuhan pasar, dapat diperkirakan bahwa akan ada
program pesawat BWB. Tetapi sebelum kebutuhan pasar itu muncul dapat
diperkirakan bahwa pesawat dengan teknologi yang revolusioner ini
tak akan masuk ke tahap perancangan rinci, apalagi dibuat.

Disamping kedua alasan tersebut, yaitu teknologi dan pasar, ada juga
alasan lain yaitu peraturan atau keputusan pemerintah. Misalnya
saja, dulu pesawat itu sangat bising dan kemudian pemerintah Amerika
Serikat, lewat FAA, membuat peraturan yang melarang pesawat dengan
tingkat kebisingan diatas nilai tertentu mendarat di bandara2 di
Amerika Serikat. Jelas bahwa peraturan seperti ini menumbuhkan
kebutuhan pasar baru, karena pesawat lama yang ada tidak
diperbolehkan beroperasi lagi. Jadi kebutuhan pasar yang kemudian
melahirkan rancangan2 pesawat baru bisa juga disebabkan oleh
munculnya peraturan pemerintah yang baru.
Pemerintah juga bisa "memaksakan" dilakukannya perancangan pesawat
baru, walaupun tidak ada technology push ataupun market demand pull.
Contohnya adalah pesawat N250 dan pesawat N2130. Pesawat N250
dirancang lebih karena keputusan politik daripada pertimbangan2
lainnya. National pride atau kebanggaan nasional bisa menjadi pemicu
untuk memulai perancangan pesawat. Keberhasilan terbang perdana N250
telah dijadikan tonggak sejarah tentang kebangkitan teknologi
nasional, apapun juga artinya. Walaupun tidak ada technology push
ataupun market demand pull, IPTN memaksakan diri merancang N2130.
IPTN saat itu keteteran kekurangan tenaga ahli untuk menyelesaikan
rancangan N250 dan terpaksa merekrut orang asing menjadi karyawan
IPTN dengan segala macam dampaknya. Nah dalam kondisi seperti itu
dan juga dalam kondisi kesulitan kekurangan dana, mengapa IPTN
memutuskan untuk merancang N2130? Jelas bahwa technology push nya
tidak ada, karena walaupun iptek untuk perancangan pesawat transonik
seperti N2130 itu didunia sudah ada, tetapi Indonesia masih setengah
buta tentang hal tersebut. Indonesia tidak memiliki 1 pun terowongan
angin transonik, dan teknologi yang dimiliki dibidang itu hanya
sekedar yang dipelajari di bangku kuliah dan tak cukup untuk
dianggap sebagai technology push untuk Indonesia. Saat ini jasa
transportasi penerbangan di Indonesia sedang marak. Tetapi ini baru
mulai terjadi sekitar 3 atau 4 tahun lalu, dan sejak itu memang ada
market demand untuk pesawat transonik relatif kecil seperti Boeing
737, yang mungkin dengan national will bisa jadi diganti oleh N2130.
Tetapi saat program N2130 diluncurkan kebutuhan itu belum ada. Jadi
jelas bahwa N2130 adalah program kebanggaan nasional alias program
mercusuar, yang seandainya berhasil tentu saja sangat membanggakan.
Tetapi dalam kenyataannya sukses dibisnis pesawat terbang yang
sangat kompetitif itu hanya dapat dicapai kalau ada baik technology
push dan market demand pull, dan projek mercusuar dapat dipastikan
akan gagal. Itulah yang terjadi dan semoga dapat menjadi pelajaran
yang berharga bagi kita semua.

Ditulis oleh Hadi Winarto
Bundoora, 26 April 2007

http://groups.yahoo.com/group/AerospaceIndonesia/message/8088

1 komentar:

phiant mengatakan...

pak mau tanya apa penyebab tidk bekerjanya engine bleed airpada pesawat boeing 737-400