Selasa, 30 Desember 2008

Hibah

Ngapusi
Ngerampok uang rakyat
Maling

Cuman menghasilkan tumpukan dokumen sampah
dan pelatihan tidak berguna

Proses dianggap tidak penting
Dokumen adalah hasil lomba menulis indah
Bukan produk dari proses tukar pikiran yang ajek dan diperiksa secara hati-hati, diuji, dikomunikasikan dengan calon pengguna, kemudian baru didokumentasikan.

Pelatihan hanya "dibregne" (dilaksanakan dalam waktu yg hampir bersamaan) di akhir tahun saja bahkan ada yg kelewat tahun.
Padahal setiap pelatihan seharusnya langsung diaplikasikan, kemudian dievaluasi, dan terakhir ditulis sebagai bahan laporan.

Hibah hanya mementingkan pembelian meja, kursi, komputer, viewer, dll

Barang menjadi segala-galanya sehingga menutup pikiran. Sedangkan konsep yg ditanamkan di otak manusia cuman NOL BESAR.

Yaa begitulah kalau pengambil kebijakan adalah orang2 yg gak ngerti "human capital investment". Kalaupun ada yg suka cuap2... cuman bohong saja.

Minggu, 21 Desember 2008

Dosen Teladan

Hari Sabtu tgl 20 Desember 2008 ada pengumuman dosen teladan di STTA. Pengumuman tersebut dilaksanakan pada acara Dies Natalis STTA. Yang lucu, proses penilaian dosen teladan hampir mirip dengan pemilihan “Indonesian Idol”, yaitu melalui angket yg dibagikan kepada tiap-tiap jurusan. Masing2 jurusan mendapat jatah 5 suara. Oleh jurusan kartu suara tersebut dibagikan kepada masing2 dosen untuk memilih siapa yg layak dinobatkan sebagai dosen teladan. Ini jelas sangat subyektif, mirip dengan pemilihan seorang Idol.

Dosen yg terbiasa tebar pesona, senantiasa mengucapkan “selamat pagi, boss”, “siang boss”, berpakaian selalu rapi seperti Presiden SBY maka hampir dapat dipastikan akan menjadi Idol, tidak peduli dia berprestasi atau tidak. Dari sini, prestasi dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu dalam hal Pengajaran, Riset, dan Pengabdian masyarakat jelas tidak penting… jadi ini lucu sekali.

Prestasi dalam hal mencerdaskan mahasiswa, prestasi dalam hal riset-riset yang dapat pengakuan Nasional maupun Internasional. Pengabdian pada masyarakat kok tidak ada perhatian sama sekali ya? Bingung saya.

Hal ini bukan hanya di STTA, dulu ketika saya mengajar STTW (Wastukancana) di Jawa Barat juga demikian. Saya suka ngibul bikin ini dan itu walau tidak pernah terealisir karena tidak ada dana sepeserpun.. ehh dinobatkan sebagai Dosen Peneliti Terbaik, maksudnya dosen yg lain tidak pernah meneliti dan tidak pernah ngibul seperti saya hehehe. Dan penobatannya dilaksanakan di acara Wisuda. Saya merasa tidak punya prestasi apapun malah tidak datang pada penobatan tersebut, jadinya mungkin Yayasan menanggung malu.

Dan lucnya, kejadian serupa juga terjadi di STTA ini. Mungkin hal itu dilakukan karena dosen2nya odob semua, tidak ada yg berprestasi sama sekali. Makanya model pemilihannya seperti itu.

Yogyakarta, 21 Desember 2008

Ardi Cahyono

Selasa, 16 Desember 2008

Mahasiswa Lebih Aktif, ya!

Alumni sebuah perguruan tinggi adalah mencerminkan hasil karya para dosen yang telah mendidiknya. Jika alumninya tidak mampu bekerja, bekal ilmunya tidak cukup, kuper alias kurang pergaulan, tidak bisa eksis di masyarakat, yang menjadi pertanyaan adalah apakah proses yang dilaluinya sudah benar? Apakah dosen-dosennya telah memenuhi standar kualitas sebagai pengajar? Dari sini maka tanggung jawab seorang dosen sangat besar. Kasarannya kalau dosennya odob maka jangan berharap alumninya bisa pintar dan cerdas.

Pernah alumni sebuah perguruan tinggi X di Yogya, setelah bekerja dia tidak mampu membuat program aljabar Bolean, padahal dia adalah alumni jurusan Informatika yg katanya materi tersebut adalah wajib. Kemudian oleh pihak pengguna, kasus tersebut dilaporkan ke perguruan tinggi asal alumni tadi. Kemudian oleh perguruan tinggi yang bersangkutan langsung dilacak, siapa dosen yg mengajar mata kuliah tersebut. Setelah ketemu dosen yg mengajar dan sialnya dosen tersebut memang sering bolos sehingga dengan sangat terpaksa sang dosen harus dieliminasi dari kampus tersebut. Ini menggambarkan bagaimana hubungan sebab-akibat antara dosen dan alumni.

Tapi sebenarnya, dosen tidak hanya dituntut untuk tidak membolos tapi juga harus selalu meningkatkan kualitasnya. Kualitas ilmu maupun kualitas teknik pengajarannya. Dosen yang hanya pandai dalam ilmu tapi kurang ahli dalam menyampaikan materi perkuliahan akan menyebabkan daya serap mahasiswa akan berkurang. Apalagi dosen yang kurang menguasai ilmu akan sulit untuk bisa mengajar dengan baik.

Tapi yang perlu diingat yaitu dosen bukan manusia super yang terbebas dari segala kelemahan, banyak dosen yg sebenarnya tidak begitu menguasai materi atau kurang ahli dalam mengajar.

Untuk itu, maka ada satu solusi yang saya tawarkan, yaitu mahasiswa saya sarankan harus lebih aktif di dalam pembelajaran. Jika ada topik bahasan yg belum dipahami, jangan sungkan-sungkan untuk bertanya kepada dosen atau yang lebih ahli.

Jika mahasiswa bisa lebih aktif, maka akan tercipta sebuah mekanisme saling mencerdaskan di antara mahasiswa. Yaitu mahasiswa yang kurang paham akan meningkat pemahamannya karena bertanya, sedangkan mahasiswa yang lebih pintar dia akan lebih pintar lagi karena dia mengajar. Perlu diketahui, ketika mengajar, otak juga ikut belajar. Dengan mahasiswa aktif akan banyak pikiran saling bertukar sehingga menyebabkan masing-masing peserta diskusi akan meningkat pemahamannya. Makanya, jangan sungkan-sungkan untuk saling diskusi masalah apapun. Jika dalam perdiskusian menemui jalan buntu, coba temui dosen yang bersangkutan atau dosen yang pernah mengajar mata kuliah tersebut untuk meminta penjelasan.

Saya sudah mulai melihat ada forum-forum diskusi mahasiswa di laboratorium, di ruang kuliah, di masjid, di warnet yang diinisiasi secara mandiri oleh mahasiswa STTA. Dari situ saya mulai berharap, semoga STTA ke depan dapat lebih baik.

Yogyakarta, 17 Desember 2008

Ardi Cahyono

Senin, 08 Desember 2008

Airborne Laser Weapon (Kiriman Pak Hadi)

Rekan2 ysh,

Salah satu senjata yang paling ditakuti adalah ICBM atau Intercontinental ballistic Missile. Misil ini bisa mencapai titik dimanapun didunia alias mampu menempuh jarak antar benua, jadi tak ada satu negarapun yang tak bisa dijangkaunya. Misil ini juga bisa dilengkapi dengan banyak misil2 kecil berjumlah banyak (puluhan atau sampai 100?) yang masing2nya bisa diprogram utk menghantam target tertentu. Lebih mengerikan lagi hulu ledak tsb bisa jadi adalah bom nuklir. Yang lebih parah lagi adalah bahwa ICBM itu berkecepatan sangat tinggi, ditembakkan sampai keluar dari atmosfer bumi dan kemudian re-entry alias memasuk atmosfer lagi sebelum melejit ke sasaran. Amerika berusaha membuat anti missile misile, yaitu misil yang bisa dipakai utk menembak jatuh misil seperti ICBM atau misil balistik lainnya (yg jarak dekat ataupun jarak menengah), misalnya saja misil Patriot. Masalahnya adalah Patriot ini sangat mahal, kalau tak salah ingat sekitar $1juta per misil. Lagipula Patriot tidaklah selalu 100% akan berhasil, padahal walaupun hanya 1 misil balistik saja yg lolos dan berhulu ledak nuklir, maka hasilnya akan sangat mengerikan. Amrik dan Rusia dan negara2 yg terancam perang besar2an, pasti ingin punya senjata yang dapat dipastikan akan selalu berhasil menembak jatuh 100% semua misil yg menuju ke negara yg diserang tersebut. Inilah sebabnya mengapa Ronald Reagan sewaktu Presiden memulai R&D utk membuat senjata pemusnah misil yg dikenal sebagai Senjata Perang Bintang atau resminya Strategic Defence Initiatives.

Yang dikembangkan adalah LASER berkekuatan sangat besar (beberapa megawatt) yg dapat ditembakkan sebagai "bola energi" yg terkonsentrasikan, dipancarkan selama beberapa detik dan kalau mengenai sasaran maka sasaran akan menerima panas yg luar biasa dan akan meleleh dan kalau ada hulu ledak didalamnya maka hulu ledak itu akan meledak. Laser ini dibawa oleh sebuah pesawat Boeing 747 khusus yg terbang pada ketinggian diatas 60ribu kaki. Pada ketinggian tersebut jarak pandang dari pesawat sebelum terbatasi oleh kelengkungan bumi adalah sekitar 465 km. Kalau bisa terbang pada ketinggian 30km maka jarak pandang akan meningkat menjadi 600 km. Jadi kalau pesawat berada dipinggir pantai barat dan pantai timur Amrik maka misil yg menyerang Amrik dan masih berada dikejauhan 465 km sudah akan dapat diledakkan dengan senjata laser tsb. Karena sinar laser bergerak dengan kecepatan cahaya, maka mustahil bagi misil yg sudah terdeteksi utk menghindar dari penghancuran oleh sinar laser tsb.

Untuk lengkapnya silahkan baca artikel dibawah ini dan juga silahkan melihat videonya di youtube dialamat berikut

http://www.youtube. com/watch? v=-TqICoTBSJ8

salam

HW

Airborne Laser

The ABL weapon system consists of a high-energy, chemical oxygen iodine laser (COIL) mounted on a modified 747-400F (freighter) aircraft to shoot down theater ballistic missiles in their boost phase. A crew of four, including pilot and copilot, would be required to operate the airborne laser, which would patrol in pairs at high altitude, about 40,000 feet, flying in orbits over friendly territory, scanning the horizon for the plumes of rising missiles. Capable of autonomous operation, the ABL would acquire and track missiles in the boost phase of flight, illuminating the missile with a tracking laser beam while computers measure the distance and calculate its course and direction. After acquiring and locking onto the target, a second laser - with weapons-class strength - would fire a three- to five-second burst from a turret located in the 747's nose, destroying the missiles over the launch area.

The airborne laser would fire a Chemical Oxygen Iodine Laser, or COIL, invented at Phillips Lab in 1977. The laser's fuel consists of the same chemicals found in hair bleach and Drano - hydrogen peroxide and potassium hydroxide - which are then combined with chlorine gas and water. The laser operates at an infrared wavelength of 1.315 microns, which is invisible to the eye. By recycling chemicals, building with plastics and using a unique cooling process, the COIL team was able to make the laser lighter and more efficient while - at the same time - increasing its power by 400 percent in five years. The flight-weighted ABL module would be similar in performance and power levels to the multi-hundred kilowatt class COIL Baseline Demonstration Laser (BDL-2) module demonstrated by TRW in August 1996. As its name implies, though, it would be lighter and more compact than the earlier version due to the integration of advanced aerospace materials into the design of critical hardware components. For the operational ABL system, several modules would be linked together in series to achieve ABL's required megawatt-class power level.

Atmospheric turbulence, which weakens and scatters the laser's beam, is produced by fluctuations in air temperature [the same phenomenon that causes stars to twinkle]. Adaptive optics rely on a deformable mirror, sometimes called a rubber mirror, to compensate for tilt and phase distortions in the atmosphere. The mirror has 341 actuators that change at a rate of about a 1,000 per second.

The Airborne Laser is a Major Defense Acquisition Program. After the Concept Design Phase is complete, the ABL will enter the Program Definition and Risk Reduction (PDRR) Phase. The objective of the PDRR phase is to develop a cost effective, flexible airborne high energy laser system which provides a credible deterrent and lethal defensive capabilities against boosting theater ballistic missiles.

The ABL PDRR Program is intended to show high confidence system performance scalable to Engineering and Manufacturing Development (EMD) levels. The PDRR Program includes the design, development, integration, and testing of an airborne high-energy laser weapon system.

In May 1994, two contracts were awarded to develop fully operational ABL weapon system concepts and then derive ABL PDRR Program concepts that are fully traceable and scaleable EMD. A single contract team was selected to proceed with the development of the chosen PDRR concept beginning in November 1996. Successful development and testing of the laser module is one of the critical 'exit criteria' that Team ABL must satisfy to pass the program's first 'authority-to- proceed' (ATP-1) milestone, scheduled for June 1998. Testing of the laser module is expected to be completed by April 1998. The PDRR detailed design, integration, and test will culminate in a lethality demonstration in the year 2002. A follow-on Engineering Manufacturing and Development/ Production (EMD) effort could then begin in the early 2003 time frame. A fleet of fully operational EMD systems is intended to satisfy Air Combat Command's boost-phase Theater Air Defense requirements. If all goes as planned, a fleet of seven ABLs should be flying operational missions by 2008.

Performance requirements for the Airborne Laser Weapons System are established by the operational scenarios and support requirements defined by the user, Air Combat Command, and by measured target vulnerability characteristics provided by the Air Force lethality and vulnerability community centered at the Phillips Laboratory. The ABL PDRR Program is supported by a robust technology insertion and risk reduction program to provide early confidence that scaling to EMD performance is feasible. The technology and concept design efforts provide key answers to the PDRR design effort in the areas of lethality, atmospheric characterization, beam control, aircraft systems integration, and environmental concerns. These efforts are the source of necessary data applied to exit criteria ensuring higher and higher levels of confidence are progressively reached at key milestones of the PDRR development.

The key issues in the program will be effective range of the laser and systems integration of a Boeing 747 aircraft.


Airborne Laser Resources

The Airborne Laser - A Revolution in Military Affairs Gerald W Wirsig; Diane Fischer (Faculty Advisor) Air Command and Staff College 1997 - The method of employment and the portion of the theater missile defense mission to be performed by the ABL are yet to be determined.
The Airborne Laser Program Homepage
The ABL program is managed by the Air Force Phillips Laboratory.
Airborne Laser Contract
An archive of documents relating to the ABL contract and source selection process. Most of these are excruciatingly boring contract legalese, but this represents the major source of primary program information.
Airborne Laser (ABL) for Theater Missile Defense
The Airborne Laser (ABL) program is developing design concepts to minimize engineering risks for an airborne, high-energy laser weapon demonstrator capable of acquiring, tracking, and killing theater ballistic missiles in boost phase. The Airborne Laser Experiment (ABLEX) was a series of experiments propagating a laser beam between two aircraft. Two defense industry teams, Boeing and Rockwell International, developed design concepts for the ABL which include a nose-mounted turret, achemical oxygen-iodine laser, and a 747 aircraft. At the end of the concept design phase, the Boeing contractor team was selected to build a demonstrator that will be flight tested.
Airborne Laser (ABL)
The Airborne Laser (ABL) Demonstrator Program is an Air Force Advanced Technology Demonstration program to develop and then demonstrate the necessary technologies to acquire, track, and destroy theater ballistic missiles during boost phase.
Phillips Laboratory Scoping Meeting For Airborne Laser
28 March 1995 - A meeting to discuss environmental concerns associated with the Phillips Laboratory's Airborne Laser Program was held April 4, 1995 to solicit public input on any environmental concerns.
BOEING, LOCKHEED MARTIN, TRW WIN AIRBORNE LASER CONTRACT
November 12, 1996 -- The U. S. Air Force awarded a team of Boeing, TRW and Lockheed Martin a $1.1 billion contract to develop and flight test a laser weapon system to defend against theater ballistic missiles.
Airborne Laser @ Boeing
As part of a US Air Force effort to address the feasibility of an airborne laser system for defense against those types of missiles, a team comprised of Boeing, TRW and Lockheed Martin has been exploring the concept of an accurate, airborne, high-energy laser.
Airborne Laser - Rockwell Team
There were initially two teams competing for the program: the Rockwell / Hughes / Raytheon E-Systems / SVS R&D / Lockheed Martin / Parsons / SAIC team, and the Boeing / Lockheed / TRW team. The Airborne Laser contract was awarded on November 12, 1996.
Laser Beam Propagation and Control
SPIE Proceedings Vol. 2120. Meeting Date: 01/23 - 01/29/94 - Abstracts for the papers in this volume are located in this file immediately following the contents list below. All papers are published by SPIE -- The International Society for Optical Engineering. Includes abstracts of reports on the Airborne laser experiment (ABLEX) series of experiments.
Airborne Laser Experiment to study performance limits of turbulence compensation systems
from OE Reports December 1995 issue An interview Russell Butts, Air Force Phillips Laboratory - ABLEX is an acronym for Airborne Laser Experiment, which was an experiment which propagated a laser beam from one aircraft to another aircraft. At the receiver aircraft, an 80-cm telescope and optical system imaged the intensity pattern incident across the aperture onto a focal plane where the intensity patterns were recorded.
FTC NEGOTIATES SETTLEMENT WITH HUGHES OVER ITEK ACQUISITION;
FEBRUARY 9, 1996 - The sale of assets between one of the partners in each of the two teams competing for a $700 million Air Force contract could raise prices or reduce investments in technology and quality for a critical component of an Air Force anti-missile program, the Federal Trade Commission has alleged. Today, the FTC announced it has reached a settlement of these allegations with General Motors and its subsidiaries, Hughes Electronics and Hughes Danbury Optical Systems. The FTC said the settlement will ensure continued competition for "deformable mirrors," part of the adaptive optics system that allow an anti-missile system to correct for distortions in the atmosphere. The affected system is the Air Force's Airborne Laser (ABL) program.
MIT, USAF, And Team ABL Demonstrate Improved Airborne Laser Active Tracking Approach Team ABL Proposes Airborne Laser Weapon System - July 9, 1996 TRW Approved to Begin Manufacturing First Laser Hardware for Airborne Laser System March 10, 1997 Team ABL Successfully Completes A Major Program Milestone, March 26, 1997 Set Lasers on Stun New Solid-State Laser Developed for Airborne Laser Program, Lockheed Martin Press Release, 30 March 2001 -- Lockheed Martin Space Systems Company today announced that its subcontractor, Raytheon Electronic Systems, has achieved a crucial milestone in the development of the Beam Control/Fire Control system for the U.S. Air Force's Airborne Laser (ABL) program. The Beam Control/Fire Control system will aim and fire a high-energy laser at a target missile in its boost

Kamis, 04 Desember 2008

Shuang Guan Qi Xia

Perguruan Shuang Guan Qi Xia (SGQX) adalah sebuah perguruan yang melatih kecerdasan otak dengan cara mengoptimalkan kinerja otak yaitu dalam waktu bersaman dapat berpikir dengan menggunakan 2 otak (otak kanan dan kiri) sekaligus. Perguruan ini didirikan oleh Shifu Yonathan Prunomo.

Metodenya seperti senam biasa (bukan senam bela diri).

Pusat perguruan ini di Surabaya.

Di Yogya bisa juga mengikuti latihan SGQX, setiap hari Jum'at jam 16.00 -17.00 di Auditorium RRI Jogja, Jl. Affandi - Gejayan, Contact: SGQX Jogja - +62 274 415511

http://sgqx.wordpress.com/

http://www.sgqx.net/

Minggu, 30 November 2008

Permainan Saham dan Ilmu Pesawat Terbang

Ilmu tentang Identifikasi Parameter Pesawat Terbang yang saya pelajari dulu di ITB saya kira dapat diterapkan pada ranah sosial seperti ekonomi, politik, organisasi, lingkungan, dll.

Ilmu Identifikasi Parameter Pesawat Terbang disarikan dari Ilmu Identifikasi parameter Sistem yang merupakan gabungan antara ilmu Fisika dan Ilmu Statistik.

Untuk memberikan ilustrasi yang sederhana, misalnya kita mengamati suatu sistem dinamik tertentu, misalnya engine. Biasanya enginenya sudah ada, kemudian mesin tersebut diberi input konsumsi bahan bakar. Selain itu ada variabel keadaan (state) yang sangat berpengaruh terhadap kinerja engine, misalnya temperatur kamar. Dengan adanya variabel input dan keadaan maka kita bisa mengamati luarannya misalnya (RPM/putaran per menit, torsi, daya, dll).

Sekarang permasalahnya dibalik. Kita memiliki sejumlah data dari sekian percobaan dengan input, state, dan output. Kita tidak tahu, mesin yang kita pake adalah mesin berapa PK, jenis apa (2 tak atau 4 tak), merk apa, piston atau turbin dll. Dengan menutup mata, kita bisa menentukan model matematika sistem engine tersebut menggunakan teori Identifikasi Parameter Sistem.

Untuk permainan saham, yang kita butuhkan hanya variabel input dan statenya (independen) apa saja dan variabel outputnya (dependen) apa saja. Kemudian sejumlah data mulai dari data sekarang sampai sekian waktu yg lalu harus kita miliki. Jadi yg penting kita harus bisa menentukan variabel-variabel tersebut dan kelengkapan data harus terpenuhi. Jika tidak maka sulit untuk menentukan model matematika yang tepat untuk sistem yang kita amati.

Data-data tersebut biasanya mengandung bias atau noise. Pertama noise tersebut harus dibersihkan misalnya dengan filter Kalman http://en.wikipedia .org/wiki/ Kalman_filter setelah itu baru menentukan struktur model matematikanya. Dan untuk menentukan parameter-parameter sistem bisa menggunakan metode least square http://en.wikipedia .org/wiki/ Least_squares .

Kemudian hasilnya dapat diverifikasi ulang dengan data output aslinya yaitu menggunakan koefisien korelasi http://en.wikipedia.org/wiki/Correlation. Jika koefisien korelasinya masih rendah, biasanya struktur model matematikanya masih kurang tepat, sehingga perlu dilakukan percobaan terus menerus untuk mendapatkan koefisien korelasi terbaik. Jika dianggap sudah puas, maka kita mempunyai model matematika untuk suatu sistem dinamik yang kita inginkan.

Dengan menggunakan model matematika yg kita miliki, dapat digunakan untuk memprediksi gejala-gejala yang akan datang. Tapi ini sifatnya ramalan, sehingga tidak perlu jauh-jauh dalam meramal, misalnya besok, atau lusa, atau seminggu lagi dan seterusnya. Jika terlalu jauh (waktunya) kemungkinan melesetnya juga besar. Sehingga model matematika memang harus selalu divalidasi. Untuk sistem saham ini struktur model matematikanya tidak jelas. Beda dengan engine atau pesawat terbang, lebih mudah membuat struktur model matematikanya.

Program untuk perhitungan ini adalah menggunakan bahasa MATLAB. Sebab dengan MATLAB dapat mudah sekali menghitung balikan semu (pseudoinvers), karena data variabel keadaan hampir selalu tidak bujursangkar. Juga mudah ketika menghitung koefisien korelasi dan filter data.

Ardi Cahyono

Rabu, 26 November 2008

Diktat Getaran Mekanik

Para Mahasiswa STTA sekalian,

Diktat Mata Kuliah Getaran Mekanik dengan dosen pengampu Moh Ardi Cahyono dapat didonlot di sini:

http://groups.yahoo.com/group/stt-adisutjipto/files/ardi%20cahyono/hand%20out/getaran%20mekanis/getaran%20mekanik%20diktat.doc 

EFEK Coanda oleh Pak Hadi

Coanda effect adalah kenyataan yang diamati oleh Henry Coanda sekitar tahun 1930.bayangkan angin seragam bertiup dari kiri kekanan. Kemudian bayangkan sebuah bentuk aerofoil dimasukkan ke dalam medan angin tersebut. Coanda mengamati bahwa udara yang menabrak aerofoil ternyata menempel ke bentuk tersebut, yaitu aliran udara akan dibelah oleh aerofoil. Dibagian atas aliran akan mengikuti bentuk atas aerofoil, dan demikian juga untuk aliran dibagian bawah aerofoil. Jadi fluida yg bergerak dan diganggu oleh keberadaan sebuah bentuk akan cenderung terus bergerak mengikuti bentuk permukaan benda yang mengganggu alira. Untuk jelasnya lakukan sebuah experimen. Didapur buka keran air ditempat cuci piring secara pelan2. kemudian perhatikan bahwa air menaglir lurus kebawah karena gaya gravitasi. Sekarang taruh sebuah sendok, biarkan air menetes pada bagian cembung sendok. Dapat diamati bahwa air tidak lagi bergerak lurus kebawah, karena memang terganggu oleh bentu sendok. Tetapi logika mengatakan bahwa setelah melewati bagian sendok yg paling tebal atau peling cembung mestinya air mengalir lurus kebawah, toh tidak ada yang menghalanginya untuk jatuh kebawah. Tetapi ternyata air tidak turun terjun kebawah dan sebaliknya ia mengikuti bentuk cembung sendok sampai bagian sendok paling bawah dan baru kemudian turun lurus kebawah. Utk jelasnya lihat video dialamat ini.

http://au.youtube. com/watch? v=vWErDwq9Enk

Sebetulnya pengamatan diatas tidak selalu benar. kalau yang digunakan bukan bentuk aerofoil atau permukaan cembung sendok, misalnya gunakan kelereng maka pada kecepatan tertentu air atau udara tidak melekat lagi pada permukaan, tetapi terlepas dari prmukaan. inilah yg disebut pelepasan aliran dan merupakan sifat dari boundary layer atau lapisan batas, yang memang biasanya melekat pada permukaan benda tetapi bisa terlepas kalau terjadi adverse pressure gradient atau gradien tekanan yang tak menguntungkan.

Biasanya kita tidak bicara lagi tentang Coanda effect, tetapi langsung membuat anggapan bahwa garis arus akan mengikuti bentuk benda, paling tidaknya utk aliran laminar yg bersifat tetap laminar. Jadi Coanda effect sebenarnya tak bisa menjelaskan gaya angkat. tetapi dampak dari Coanda effect dapat menjelaskan terjadinya gaya angkat .

Ada2 cara utk memahami mengapa haya angkat ditimbulkan. Yang pertama adalah dari segi hukum fisika kelanggengan momentum. Byangkan lagi aerofoil didalam angin seragam dari kiri kekanan. Gambar sebuah segi panjang yg mengurung aerofoil dan merupakan control volume yg diperiksa. Sisi segipanjang adalah sejajar dan tegak lurus pada arah angin. Angin masuk ke control volume arah =x sejajar garis horisontal dari kiri kekanan, jadi hanya punya momentum arah -x.

Karena keberadaan aerofoil maka arah aliran berubah. Dibagian belakang control volume angin bergerak bukan horisontal tetapi punya komponen kebawah karena dibelokkan oleh aerofoil dan karena sesuai Coanda effect arah angin mengikuti bentuk permukaan. Karena angin dibelokkan kebawah maka sekarang punya momentum arah-y atau tegak lurus kebawah. Sesuai hukum kekekalan momentum maka kita tanyakan lho kok bisa, tadinya momentum arah -y bernilai nol, tetapi karena keberadaan aerofoil tiba2 udara punya komponen momentum arah-y yang bukan nol. Nah supaya momentum arah-y yg beraksi pada control volume tetap bernilai nol, maka harus ada gaya yangdikerahkan angin pada bentuk aerofoil kebalikan arah y kebawah, jadi arah y keatas, alias gaya angkat.

Memang ada ahli aerodinamika yg mengatakan bahwa inilah penjelasan yg benar tentang terciptanya gaya angkat. ini memang penjelasan yg sangat sederhana dan dapat dimengert oleh siapa saja yg memahami hukum kekekalan momentum dalam Fisika dasar. Tetapi penjelasan ini punya kelemahan yaitu tidak dapat dipakai utk menghitung berapa besar gaya angkat yg tercipta.

Untuk menghitung berapa besar gaya angkat yg tercipta maka kita gunakan hukum Bernoulli yg memberikan kaitan antara tekana dan kecepatan aliran. Jadi p + q = konstan (bernilai tetap alias tekanan total) dimana p adalah tekanan statik dan q adalah tekanan dinamik dan q =0.5 *rho *V^2 dimana rho adalah densitas udara dan V adalah kecepatan aliran dititik yg sama. Jadi kalau kecepatan udara meningkat maka tekanannya mengecil. Selanjutnya karena sesuai dampak Coanda garis arus akan mengikuti bentuk aerofoil, maka aerofoil dipih bentuknya sedemikian rupa sehingga airan angin yg menyapu permukaan atas aerofoil akan bergerak lebih cepat (karena cembung) dibanding yg dibagian bawah (yg berbentuk relatif datar). Dengan demikian tekanan dibagian bawah aerofoil lebih besar dari tekanan dibagian atas dan ini memberikan total gaya netto arah keatas yg disebut gaya angkat (lift). Selanjutnya distribusi kecepatan disepanjang permukaan aerofoil dapat dihitung, misalnya dengan menyelesaikan persamaan Laplace (yg mudah) utk alitan tak viskos, atau dengan menyelesaikan persamaan Navier-Stokes (yg sulit sekali) utk aliran viskos. Distribusi kecepatan sepanjang permukaan aerofoil ini kemudian diolah menjadi distribusi tekanan sepanjang permukaan aerofoil lewat persamaan Bernoulli, dab dengan demikian ujung2nya gaya angkat dapat dihitung. Semua ahli aerodinamika pasti menggunakan pendekatan ini utk menghitung besaran gaya angkat. Tetapi perhatikan bahwa penjelasan ini tidak bisa dilakukan dengan mudah lewat sebuah hukum Fisika dasar yg mudah dimengerti seperti hukum kekekalan momentum misalnya. Untuk sampai pada tahap bisa menerapkan persamaan Bernoulli utk menghitung gaya angkat, kita harus belajar dulu jauh lebih banyak, yaitu mampu menurunkan persamaan Laplace kemudian mencari solusi persamaan Laplace dengan metoda variabel komplex ataupun meteoda panel vortex dlsbnya. Inilah yang dikatakan oleh sebagian ahli aerodinamika yaitu bahwa Coanda effect dan hukum aksi reaksi Newton adalah penjelasan yg paling tepat mengenai terciptanya gaya angkat.

Bagi saya mungkin Coanda effect dan hukum aksi reaksi Newton adalah penjelasan yg paling sederhana dan bermanfaat utk menjelaskan terjadinya gaya angkat pada seorang awam. Tetapi kalau kita ingin menjadi ahli aerodinamika dan harus bisa memprediksi (menghitung) gaya angkat yg beraksi pada kondisi terbang tertentu dan bentuk aerofoil tertentu, maka tak ada pilihan lain kecuali menggunakan rumus Bernoulli dan menyelesaikan persamaan Laplace atau pers Navier-Stokes lewat CFD (Computational Fluid Dynamics). Untuk kasus ini penjelasan dengan Coanda effect dan hukum aksi reaksi Newton sama sekali tidak berguna.

Tersu terang saja saya pikir ini adalah akal2an beberapa ahli aerodinamika saja utk menimbulkan kontroversi, yang kemudian menimbulkan mib=nat utk membeli buku yang dikaranganya ttg aerodinamika :-)

salam

HW


--- On Mon, 24/11/08, yama_naibaho wrote:

From: yama_naibaho
Subject: [STTA] mau nanya..??? tolongin ya
To: stt-adisutjipto@ yahoogroups. com
Received: Monday, 24 November, 2008, 1:18 AM

dear all,
saya kemaren baca
http://www.beritaip tek.com/zberita- beritaiptek- 2005-09-07- Seputar-Kecelaka an-Pesawat- Mandala-Flight- 091.shtml.
Gaya angkat pesawat ada 3. Saya mau nanya yg ttg efek coanda..??? da
yg tw ga..?? Ko rasa`y baru denger ya, pa saya yang ktnggalan IPTEK..

Hingga saat ini, setidaknya ada 3 penjelasan yang diterima untuk
fenomena munculnya gaya angkat pada sayap: prinsip Bernoulli, Hukum
III Newton, dan efek Coanda. Sayap pesawat memiliki kontur potongan
melintang yang unik: airfoil. Pada airfoil, permukaan atas sedikit
melengkung membentuk kurva cembung, sedangkan permukaan bawah relatif
datar. Bila sekelompok udara mengenai kontur airfoil ini, maka ada
kemungkinan bahwa udara bagian atas akan memiliki kecepatan lebih
tinggi dari bagian bawah: hal ini disebabkan karena udara bagian atas
harus melewati jarak yang lebih panjang (permukaan atas airfoil adalah
cembung) dibandingkan udara bagian bawah.

Prinsip Bernoulli menyatakan bahwa semakin tinggi kecepatan fluida
(untuk ketinggian yang relatif sama), maka tekanannya akan mengecil.
Dengan demikian akan terjadi perbedaan tekanan antara udara bagian
bawah dan atas sayap: hal inilah yang mencipakan gaya angkat L.
Penjelasan dengan prinsip Bernoulli ini masih menuai pro kontra; namun
penjelasan ini pulalah yang digunakan Boeing untuk menjelaskan prinsip
gaya angkat.

Penjelasan menggunakan Hukum III Newton menekankan pada prinsip
perubahan momentum manakala udara dibelokkan oleh bagian bawah sayap
pesawat. Dari prinsip aksi ・reaksi, muncul gaya pada bagian bawah
sayap yang besarnya sama dengan gaya yang diberikan sayap untuk
membelokkan udara. Sedangkan penjelasan menggunakan efek Coanda
menekankan pada beloknya kontur udara yang mengalir di bagian atas
sayap. Bagian atas sayap pesawat yang cembung memaksa udara untuk
mengikuti kontur tersebut. Pembelokan kontur udara tersebut
dimungkinkan karena adanya daerah tekanan rendah pada bagian atas
sayap pesawat (atau dengan penjelasan lain: pembelokan kontur udara
tersebut menciptakan daerah tekanan rendah). Perbedaan tekanan
tersebut menciptakan perbedaan gaya yang menimbulkan gaya angkat L.
Meski belum ada konsensus resmi mengenai mekanisme yang paling akurat
untuk menjelaskan munculnya fenomena gaya angkat, yang jelas sayap
pesawat berhasil mengubah sebagian gaya dorong T mesin menjadi gaya
angkat L.

http://groups.yahoo.com/group/stt-adisutjipto/message/1033

Minggu, 23 November 2008

Sikut Sana Sikut Sini

Ternyata yg mengalami kena sikut sana-sini di STTA ini bukan hanya saya.

Pak Agus Hasyim yg lulusan (S1 dan S2) Aeronautic TU Delf Belanda juga merasakan kena sikut di STTA sehingga tersingkir dan akhirnya tidak mengajar di STTA.

Pak Bari yg alumni Penerbangan ITB juga kena dan akhirnya kembali ke tempat kerja aslinya di AAU.

Padahal dua dosen ini adalah dosen Teknik Penerbangan yg sangat berkualitas. Yang satu lulusan TU Delf Belanda yg satunya lagi lulusan ITB.

Tapi kedua-duanya dibuang begitu saja.

Yang lebih aneh, hasil kuisioner Pak Agus Hasyim nilainya sangat tinggi.

Padahal STTA sulit sekali mencari dosen Teknik Penerbangan.

Aneh bin ajaib.

Saya Dipecat dari Monevin dan LPMA

Monevin (Monitoring Evaluasi Internal) adalah 3 orang dosen di STTA yg ditunjuk untuk mengawasi proyek2 Hibah di STTA.

LPMA adalah Lembaga Penjaminan Mutu Akademik.

Dulu saya adalah anggota LPMA sekaligus ketua LPMA di STTA.

Tapi kira2 dua tahun yang lalu saya dipecat dari kedudukan tersebut.

Saya akan menceritakan peristiwa di balik itu.

Ketika saya menjabat Monevin dan LPMA, lumayan lah.. tiap bulan tambahan gaji bisa mencapat Rp700 rebu. Dan tak heran posisi tersebut diperebutkan oleh dosen2 yang lain.

Saya hanya konsen pada kinerja kedua organisasi tersebut.

Saya tunggu sampai 3 bulan ternyata Monevin tidak ada kerjaan sama sekali. Padahal sebenarnya pekerjaannya banyak banget tapi tidak dikerjakan. Jika tidak dikerjakan berarti tidak ada yg mengontrol pelaksanaan hibah di STTA. Saya sudah berusaha semampu saya tapi di internal Monevin sendiri sulit digerakkan.

Kemudian ketika ngobrol santai dengan Ketua STTA di kursi BAAK, saya bercanda, "Pak.. saya nerima gaji buta nih, karena Monevin tidak ada kerjaannya". Ketua bilang, "Ya kamu harus berusaha supaya kinerjanya lebih baik lagi". saya jawab, "Saya di situ hanya kroco, kalau yg laen cuman ingin begitu2 aja ya susah lah pak".

Tidak berapa lama saya dipanggil Ketua dan langsung dicopot dari Monevin, kemudian Beliau menanyakan LPMA gimana? Saya jawab, "Ganti aja dgn yg laen Pak". Dan akhirnya saya tidak menduduki kedua posisi tersebut.

Tgl 20,21 Nopember 2008 yang lalu, ada kegiatan Monitoring dan Evaluasi dari Dikti, langsung meninjau pelaksanaan PHK AI Teknik Penerbangan. Kesimpulan Reviewer Dikti, semua mengatakan Monevin tidak bekerja sama sekali.

Lha semenjak saya dipecat 2 tahun yg lalu sampai sekarang kerjaannya ngapain saja... gile.

Sabtu, 22 November 2008

Kemiskinan Struktural

Salah satu tema yang pernah mencuat dalam diskusi para aktivis tahun 90-an adalah Kemiskinan Struktural.

Kemiskinan struktural bukan terjadi karena seseorang malas bekerja (kemiskinan cultural), namun adanya kemiskinan struktural ini karena disebabkan oleh sistem.

Contoh konkrit adalah kemiskinan yang menimpa para petani. Sejak jaman Soeharto, petani adalah golongan yang mengalami pemiskinan secara struktur karena harga pupuk yang sangat tinggi sedangkan harga jual beras sangat rendah.

Konsep kemiskinan struktural ini saya kira sudah ada sejak jaman kerajaan di mana para abdi dalem dimiskinkan secara struktur. Sedangkan para bangsawan hidup dalam kemewahan.

Dosen STTA, saya kira juga mengalami pemiskinan struktural.

STTA ini setidaknya memiliki tiga input harta yaitu harta berasal dari mahasiswa, kedua dari bantuan pemerintah melalui dana-dana hibah, dan terakhir dari Yayasan.

Harta dari mahasiswa menurut hitungan kasar saya adalah sekitar 3,36M dalam setahun. Harta dari hibah perkiraan saya sudah mendapatkan sekitar 3M. Yayasan sangat kuat sehingga mampu memberikan lahan, bangunan, dan fasilitas lainnya.

Dari situ tidak heran jika STTA merupakan anak emas yayasan dibandingkan anak yang lain yaitu Unnur dan Unsuria.

Tapi anehnya, gaji dosen kok minim sekali yaitu 17,5rebu persks untuk dosen S2 dan 15rebu untuk dosen S1. Standar gaji ini sangat primitif dibandingkan gaji di kampus-kampus lain di Yogya.

Sedangkan gaji pokok dosen sekitar 320rebu... Alamak, ya nasib.

Empati

Salah satu kunci keberhasilan seorang pemimpin adalah kemampuan berempati yaitu kemampuan berusaha keluar dari dirinya dan memposisikan diri berada di posisi orang lain sehingga seolah-olah merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain.

Misalnya, ketika melihat tukang sapu kita mencoba seolah-olah menjadi tukang sapu sehingga kita mampu merasakan segala problematika kehidupannya termasuk penderitaan hidupnya selama ini.

Jika kemampuan ini dimiliki seorang pemimpin maka dia akan lebih sukses karena dapat memahami perasaan anak buahnya.

Jika seseorang mengatakan, “Salah sendiri menjadi pembantu rumah tangga”, “Salah sendiri menjadi gelandangan”, Salah sendiri menjadi dosen yang gajinya kecil dan menderita”. Maka orang-orang semacam ini adalah orang yang gagal berempati dan jangan sekali-kali dipilih menjadi pemimpin karena akan membahayakan organisasi.

Tapi sayangnya, banyak sekali pemimpin yang tidak punya rasa empati, terutama di STTA ini.

Senin, 10 November 2008

Bergabunglah di Milis STTA, tinggal klik "Join This Group"

Untuk bergabung pertama klik link ini terlebih dahulu:

http://groups.yahoo.com/group/stt-adisutjipto/

kemudian klik “Join This Group” di kanan atas, dan ikuti prosedur selanjutnya.

Selamat bergabung.

Ardi Cahyono

Jumat, 07 November 2008

Rute Penerbangan

Ibu2 dan Bapak2 ysh,

Mohon petunjuk sekali lagi.

Untuk menentukan rute suatu pesawat penumpang sipil dari kota A ke kota B, pertimbangannya apa saja? Landasan teorinya bagaimana?

Terima kasih banyak. Merdeka!!!

mac

Rute penerbangan ditentukan sama seperti hal lain dalam aviation:

1. Safety. Yang jelas tidak boleh ada terrain yang terlalu tinggi melampaui kemampuan terbang pesawat. Pesawat dengan 2 engine juga tidak boleh terbang lebih jauh dari 1 jam penerbangan dengan kondisi OEI (one engine inoperative) dari suitable alternate airport. Endurance pesawat juga menentukan panjang sektor yang bisa diterbangi atau technical stop untuk refuelling.

2. Ekonomis. Semakin lurus, mengikuti great circle, semakin hemat bahan bakar dan semakin cepat sampai. Untuk great circle silahkan lihat di wikipedia atau encarta di Navigation.

3. Traffic flow. Pada rute tertentu yang sangat padat seperti
jakarta - surabaya pesawat diharuskan terbang pada rute yang berbeda. Yah semacam jalan searah. Ini urusannya department perhubungan. Department perhubungan mengeluarkan enroute chart yang harus diikuti oleh semua penerbangan sipil dan militer (di masa damai). Airways dilengkapi dengan Navigation Aids seperti VOR, DME dan NDB. Dephub juga mengeluarkan minimum enroute altitude (MEA) untuk setiap airway. khusus seperti Training Area, Air Defense Identification Zone, Danger Area dan Restricted area juga harus diperhitungkan


Regards



Leo Yudianto Nugroho
ATP/B737, MD80/90

Bung mac,

Jawabannya tergantung pada apa sebenarnya yang ditanyakan. Misalnya saja anda seorang milyarder baru, bisa menyewa beberapa pesawat yang tidak terlalu mahal dan tidak terlalu tua. Lalu anda ingin tahu, sebaiknya jenis pesawat apa (berapa penumpang, jarak tempuh etc) yang perlu disewa dan digunakan untuk melayani rute2 mana saja. Katakan karena anda orang Surabaya maka kantor pusat anda ada di Surabaya dan pesawat2 anda akan melayani kebutuhan transportasi udara dari Surabaya ke semua penjuru Indonesia. Bagaimana caranya menentukan sebaiknya kota2 mana saja yg anda layani dengan pesawat2 anda, dan bagaimana penjadwalannya, sehari 3 kali atau seminggu 2 kali saja etc etc.

Masalah seperti ini memang adalah masalah nyata. Misalnya saja Tiger Airways milik Singapura punya 6 pesawat yg dioperasikan di Australia, yaitu pesawat2 Boeing 737-800 kalau tak salah. Tentu mereka harus membuat analisis yang cermat tentang kota2 mana saja di Australia yg akan dilayani, dan kota mana yg dijadikan pusat operasi. Lion Air yang berkongsi dengan perusahaan Australia (lupa namanya) kalau tak salah juga akan menggunakan 9 (?) pesawat 737-900 barunya utk melayani rute2 di Australia.

Masalah ini jelas tidak mudah dan melibatkan ilmu ekonomi disamping ilmu teknik dan mungkin juga ilmu matematika (operation research), psychology dan entah apa lagi. Jadi jawaban dari pertanyaan anda hanya dapat diperoleh dengan kuliah di MIT atau universitas2 lain yang memberikan kuliah dibidang itu. Untuk sekedar mempelajarinya sendiri, silahkan baca diktat kuliah di MIT-OCW yg gratis. Dibawah ini disampaikan alamat situs web MIT-OCW untuk jurusan Aeronautics dan Astronautics. Mungkin bahan kuliah yang anda inginkan ada dimata kuliah Airline management atau Airline Schedule planning ataupun Logistical and Tranportation Planning Method, atau cari sendirilah didaftar yg ada dibawah ini.

Semoga bermanfaat dan anda berhasil mendapatkan informasi yg dibutuhkan

salam

HW

Aeronautics and Astronautics

RSSNotify me of course updates

Updated within the past 180 days

MIT Course #

Course Title

Term

16.00

Introduction to Aerospace Engineering and Design

Spring 2003

16.01

Unified Engineering I, II, III, & IV

Fall 2005

16.02

Unified Engineering I, II, III, & IV

Fall 2005

16.03

Unified Engineering I, II, III, & IV

Fall 2005

16.04

Unified Engineering I, II, III, & IV

Fall 2005

16.050

Thermal Energy

Fall 2002

16.06

Principles of Automatic Control

Fall 2003

16.07

Dynamics

Fall 2004

16.100

Aerodynamics

Fall 2005

16.120

Compressible Flow

Spring 2003

16.13

Aerodynamics of Viscous Fluids

Fall 2003

16.20

Structural Mechanics

Fall 2002

16.21

Techniques for Structural Analysis and Design

Spring 2005

16.225

Computational Mechanics of Materials

Fall 2003

NEW

16.230J

Plates and Shells

Spring 2007

16.30

Estimation and Control of Aerospace Systems

Spring 2004

NEW

16.31

Feedback Control Systems

Fall 2007

16.322

Stochastic Estimation and Control

Fall 2004

16.323

Principles of Optimal Control

Spring 2006

16.333

Aircraft Stability and Control

Fall 2004

16.337J

Dynamics of Nonlinear Systems

Fall 2003

16.355J

Software Engineering Concepts

Fall 2005

16.358J

System Safety

Spring 2005

16.36

Communication Systems Engineering

Spring 2003

16.37J

Data Communication Networks

Fall 2002

16.394J

Infinite Random Matrix Theory

Fall 2004

16.399

Random Matrix Theory and Its Applications

Spring 2004

16.410

Principles of Autonomy and Decision Making

Fall 2005

16.412J

Cognitive Robotics

Spring 2005

16.413

Principles of Autonomy and Decision Making

Fall 2005

16.422

Human Supervisory Control of Automated Systems

Spring 2004

16.423J

Aerospace Biomedical and Life Support Engineering

Spring 2006

16.512

Rocket Propulsion

Fall 2005

16.522

Space Propulsion

Spring 2004

16.540

Internal Flows in Turbomachines

Spring 2006

16.61

Aerospace Dynamics

Spring 2003

16.621

Experimental Projects I

Spring 2003

16.622

Experimental Projects II

Fall 2003

16.652

Inventions and Patents

Fall 2005

16.653

Management in Engineering

Fall 2004

16.682

Prototyping Avionics

Spring 2006

16.72

Air Traffic Control

Fall 2006

16.75J

Airline Management

Spring 2006

16.76J

Logistical and Transportation Planning Methods

Fall 2004

16.76J

Logistical and Transportation Planning Methods

Fall 2006

16.77J

Airline Schedule Planning

Spring 2003

16.810

Engineering Design and Rapid Prototyping

January (IAP) 2005

16.810

Engineering Design and Rapid Prototyping

January (IAP) 2007

16.812

The Aerospace Industry

Spring 2004

16.83X

Space Systems Engineering

Spring 2002

16.851

Satellite Engineering

Fall 2003

16.852J

Integrating the Lean Enterprise

Fall 2005

16.862

Engineering Risk-Benefit Analysis

Spring 2007

16.863J

System Safety

Spring 2005

16.881

Robust System Design

Summer 1998

16.885J

Aircraft Systems Engineering

Fall 2004

16.885J

Aircraft Systems Engineering

Fall 2005

16.886

Air Transportation Systems Architecting

Spring 2004

16.888

Multidisciplinary System Design Optimization

Spring 2004

16.891J

Space Policy Seminar

Spring 2003

16.892J

Space System Architecture and Design

Fall 2004

16.895J

Engineering Apollo: The Moon Project as a Complex System

Spring 2007

NEW

16.89J

Space Systems Engineering

Spring 2007

16.901

Computational Methods in Aerospace Engineering

Spring 2005

16.910J

Introduction to Numerical Simulation (SMA 5211)

Fall 2003

16.920J

Numerical Methods for Partial Differential Equations (SMA 5212)

Spring 2003

16.940J

Computational Geometry

Spring 2003

16.985J

Proseminar in Manufacturing

Fall 2005

Bung mac,

Dibawah ini disampaikan judul2 mata kuliah bidang Airline management dari MIT-OCW yg dapat anda download gratisan. Anda juga diperbolehkan menerjemahkannya dalam bahasa Indonesia dan menggunakannya sebagai bahan kuliah. MIT hanya minta supaya anda menulis dibagian depannya bahwa bahan kuliah itu adalah terjemahan dalam bahasa Indonesia dari mata kuliah yg diberikan gratis di MIT-OCW.

Semoga informasi ini membantu anda memperoleh jawaban dari pertanyaan 2 anda. MIT-OCW juga memberikan seluruh mata kuliahnya secara gratis online. kalau tak salah ada juga beberapa universitas terkenal lainnya yg melakukan hal yg sama , tetapi MIT adalah yg pertama dan menjadi motor penggeraknya. Ada sekumpulan universitas ternama yg bergabung dalam usaha memberikan bahan kuliah terbaik yg ada didunia supaya bisa digunakan secara gratis oleh universitas2 lain didunia. Universitas2 ternama itu, kalau taka salah adalah beberapa universitas terkemuka di Amrik, Cina dan Jepang. mungkin juga ada universitas di Inggris yg melakukan hal yg sama. Cranfield kalau tak salah memberikan sebagian dari bahan kuliahnya gratis online. Kalau tak salah bahkan Oxford dan Cambridge juga melakukan hal yg sama. begitu juga Bristol seingat saya. Jadi tidak ada penghambat untuk bisa memberikan bahan kuliah yg sama baik di STTA ataupun di MIT! Terserah pada dosennya, bersedia memeras otak dan menghabiskan tenaga dan waktu utk menyerap informasi yg ada, menterjemahkannya dalam bhs Indonesia dan mengilahnya supaya bisa disampaikan kepada para mahasiswa dalam bentuk yang menarik minat mahasiswa untuk mempelajarinya secara serius. Tak ada alasan utk mengatakan bahwa mutu kuliah jelek karena buku2nya sangat mahal, jadi tidak bisa mengakses informasi terbaru dan terbaik didunia. Informasi itu ada dan dapat diperoleh secara gratis lewat internet.

salam

HW

SES #

Topics

LECTURE NOTES

1

Course Introduction

- Review of Syllabus and Subject Requirements
- Introduction to Airline Planning Processes and Systems

Introduction to the Airline Planning Process (PDF)

2

Airline Economics Review

- Demand and Market Share Models
- Differential Pricing and Revenues

Airline Economics Review (PDF)

3

Operating Costs and Productivity

- Components of Airline Operating Costs
- Measures of Aircraft and Labor Productivity

Operating Costs and Productivity (PDF)

4

Load and Spill Analysis

- Demand Stochasticity and Flight Leg "Spill Models"
- Estimation of Unconstrained Demand

Load Factor Analysis (PDF)# (Courtesy of Boeing. Used with permission.)

Airline Demand Analysis and Spill Modeling (PDF)

5

Airline Schedule Development

- Network Supply Definitions and Concepts
- Timetable Development Issues and Constraints

Airline Schedule Development (PDF)

6

Passenger Choice Models

- Decision Window Market Share Model
- Consumer Choice of Path/Fare Options

Introduction to PODS Passenger Choice Models (PDF)

Decision Window Model (PDF)# (Courtesy of Boeing. Used with permission.)

7

Introduction to ePODS Airline Management Game

- Baseline Networks and Schedules
- Overview of Inputs and Outputs

ePODS Airline Management Educational Game (PDF)

8

ePODS Work Session

- Present and Discuss Baseline ePODS Results
- Software Installation and Instructions

9

Fleet Assignment Optimization (Prof. Barnhart)

- Incorporation of Spill and Recapture Rates
- Leg Independent vs. Itinerary-based Approaches

Airline Fleet Assignment (PDF) (Courtesy of Cynthia Barnhart. Used with permission.)

10

ePODS Work Session

- Presentation of Round 1 Input Strategies
- Results: Initial Fleet Assignment

11

Route Planning and Network Strategies

- Route
Evaluation in Hub Networks
- Route
Profitability Estimation Issues

Route Planning and Evaluation (PDF)

12

ePODS Work Session

- Presentation of Round 2 Input Strategies
- Results: Hub Schedule Shifts and Fleet Assignment

13

Scheduling and Operational Constraints

- Aircraft Rotations and Irregular Operations
- Demand Driven Dispatch - Flexible Fleet Assignment

Demand Driven Dispatch (PDF)#

14

ePODS Work Session

- Presentation of Round 3 Input Strategies
- Results: Route Selection and Evaluation

15

Mid-Term Exam (In Class)

16

Airline Fleet Planning Issues

- Commercial Aircraft Categories and Characteristics
- Technical and Performance Characteristics
- Implications for Fleet Changes in ePODS

Airline Fleet Planning Models (PDF)

17

AMG Work Session

- Presentation of Round 4 Input Strategies
- Results: Impacts of Fleet Changes

18

Revenue Management Concept and Models

- Introduction to Seat Inventory Control Process
- EMSR Flight Leg Optimization

Introduction to Revenue Management: Flight Leg Revenue Optimization (PDF)

19

Overbooking Methods

- Overview of Theory and Current Practice
- Evolution of Probabilistic/Cost-Based Models

Flight Overbooking: Models and Practice (PDF)

20

O-D/Network Seat Inventory Control

- Network Optimization Models
- O-D Control Development in Practice

Network Revenue Management: Origin-Destination Control (PDF)

21

ePODS Work Session

- Presentation of Round 5 Input Strategies
- Results: Full-up Scheduling and Route Selection

22

Open Session

- Guest Lecture on Pricing/RM

23

Airline Pricing Structures and Strategies

- Differential Pricing and Fare Restrictions
- Implications for Price Changes in ePODS

Pricing Challenges: ePODS and Reality (PDF)

24

Airline Revenue Management Systems

- Evolution of Capabilities and Current Status
- Relationships to CRS and Distribution

Origin-Destination Control: What Have We Learned? (PDF)

25

ePODS Work Session

- Presentation of Round 6 Input Strategies
- Results: Limited Fare Modifications

26

Summary: Airline Management Challenges

- Discussion of ePODS Lessons
- Relationship to Current Airline Industry Issues

Dibawah ini disampaikan judul2 mata kuliah dari MIT-OCW bidang Airline Schedul Planning

salam

HW

Lecture Notes

Microsoft® Powerpoint® software is recommended for viewing the .ppt files in this section. Free Microsoft® Powerpoint® viewer software can also be used to view the .ppt files.

Many of the lecture notes in this section are in Powerpoint® format in order to retain elements of animation.

LEC #

TOPICS

1

Course Introduction and Overview
Airline Schedule Planning (PPT)

2-6

Optimizing Flows on Networks
Multi-commodity Flows (PPT)
Multi-commodity Network Flows: A Keypath Formulation (PPT)
Multi-commodity Flows, Linear and Integer (PPT)

7

The Passenger Mix Problem (PPT)

8-11

The Fleet Assignment Problem (PPT)

14-17

Crew Scheduling, the Aircraft Routing Problem, and the Integrated Crew Pairing-Aircraft Routing Problem
The Crew Scheduling Problem (PPT)
Aircraft Maintenance Routing (PPT)
The Extended Crew Pairing Problem with Aircraft Maintenance Routing (PPT)

18

Integrated Fleeting Models

19

The Schedule Design Problem (PPT)

20-22

Operations Recovery
Airline Operations - Lecture #1 (PDF)
Airline Operations - Lecture #2 (PDF)
Airline Operations - Lecture #3 (PDF)

23-24

Robust Scheduling
New Approaches to Add Robustness into Airline Schedules (PPT)

Dibawah ini disampaikan judul2 mata kuliah bidang Metoda2 Logistik dan perencanaan untuk transportasi.

salam

HW

Home > Courses > Civil and Environmental Engineering > Logistical and Transportation Planning Methods

  • Email this page

Lecture Notes

A Jogger's Problem (PDF)

Functions of Random Variables 1 (PDF)

Functions of Random Variables 2 (PDF)

Functions of Random Variables 3 (PDF)

Queueing Systems 1 (PDF)

Queueing Systems 2 (PDF)

Queueing Systems 3 (PDF)

Queueing Systems 4 (PDF)

Queueing Systems 5 (PDF)

Queueing Systems 6 (PDF)

Congestion Pricing (PDF)

Spatial Queues 1 (PDF - 1.6 MB)

Spatial Queues 2 (PDF)

Networks 1 (PDF)

Networks 2 (PDF)

TSP Heuristics (PDF)

Hi Mas Ardi Apa Khabar , Gimana masih di Jogja

Sedikit menambah, sesuai moderator kurang spesifik, mudah2an kalau saya nggak salah arah nya tentu dari segi teknis.

Untuk rute, sudah di jawab oleh Mas Leo. cuma mau menambah urutan / metoda nya:

Di UAE kalau kita memberi approval route baru seperti misalnya Emirates,
pertama mereka harus submit dulu airport (destinations approval) termasuk audit yang mereka laksanakan dan di verifikasi oleh Civil Authority, misalnya mau ke Patagonia Airpot, biasanya kita pelajari audit airportmya, dari mulai landasan, safety equipment, fire category, approach (VOR.ILS/GPS dll), termasuk fasilitas komunikasi di flight operations dan dokumen & record mereka dst dst ,biasanya operator menambah chek diluar safety, seperti passenger handling, ruang tunggu, transport dari ke airport, akomodasi crew (semua di audit & sebagian besar di verifikasi oleh civil aviation authority)

Setelah kita beri approval, maka Operations Specification yang merupakan bagian dari AOC (Air Operating Certificate) holder kita revisi untuk memasukan list of new airport setelah disetujui airport tsb laik dan legal utk dipakai.
Selanjutnya mereka akan propose Proving flight, umumnya utnuk airport yang category A (ref JAROPS/ CAROPS) sudah bisa langsung terbang, sedang category crew nya harus yang paling qulified & test di Simulator dulu supaya skill & knowledge nya siap.

Sedang untuk flight planning, database dari performance pesawat di upload ke program flight planning yang ada terrain dan bluechart (data maritm) ini untuk ETOPS (nanti ada cerita lagi utnuk ETOPS), dari sini dapat dihitung yang diceritakan Mas Leo, kalau satu mesin mati apa masih bisa jaga ketinggian dengan terrain, kita sebut yang namanya escape route, lalu airport alternate juga dihitung.

Sekira nya cukup menambah data anda untuk ngajar eh kalau masih lo?
salam
Azzy

Boeing 777 disertifikasikan utk boleh terbang 3 jam (180 menit) dengan 1 mesin tak berfungsi. Informasi lebih lanjut dapat dibaca dibawah ini

salam

HW

ETOPS

Extended Range Twin Engine Operations

http://www.avsim.com/geoffschool/airlinecourse/etops.htm

It has now become part of everyday normal operations, for twin engine aircraft, to cross the Atlantic and Pacific Oceans and the deserts. I will in this article give some idea on how ETOPS works.

Most twin engine airliners are certified so that have to be able to fly normally within a hour of an airfield in the event of an emergency. That is not a problem normally in Europe, but over the Oceans and at night in Africa where airfields often close, this could present a problem. A set of rules were developed by the Civil Aviation Authorities of the world, to allow long distance flights with twin engine aircraft. Aircraft have to be built and designed with proven engines. Hours are fed back and monitored by Authorities and manufacturers. Before these operations commence the airline has to be certified and assessed as well.

The Atlantic Ocean for example could not be crossed with the normal hour restriction. It could be crossed with a two hour restriction, however vast areas would not be able to be crossed as they are outside of the range of some of the airports. For an airline to be able to cross the Atlantic on all daily routes would require at least 138 minutes certification . For flights from America to Hawaii would normally require 3 hours certification as Hawaii from the West Coast of the USA is 6 hours flying. Airlines not certified for more than 2 hours would have to route further North crossing nearer Iceland and Greenland.

How does this affect the Pilots ?

As stated in my previous article on flying the Atlantic , pilots will monitor where they are all the times. They will nominate three airfields where at a given time, the weather is above limits at the time they fly through the area . For example Shannon in Ireland, Keflavik in Iceland and St Johns in Canada . As stated Atlantic tracks change each day on route. The pilots get a copy of the tracks and use a plotting chart before the flight to plot the tracks .The pilots then draw arcs for the 3 airports which show the arcs where the ETOPS maximum range.

Note

ETOPs ranges circles are based on a "declared" True Airspeed and are not adjusted for wind. However, actual "on the day" diversion times/fuels use actual winds - which may result in a diversion being longer than the operators approved time (120, 180, 207, minutes) but always within the maximum range circle distance.

The pilots then can work out which airport is closer to divert in an emergency. They then plot the mid track equal distance point in each sector ensuring it is within the ETOPS certified range.

See the diagram below please read it from bottom to top

Point A and B are Equal Distance Points

Each circle represents the permitted ETOPS range allowing for wind.

The pilots must ensure the aircraft is always within the ETOPS Range. Therefore an aircraft travelling from Europe at the bottom of the diagram would use Shannon as a diversion airfield until reaching point A. From point A until reaching point B Keflavik would be the diversion airfield and then on reaching point B ST Johns would be the diversion airfield. If the Oceanic Control Centre offered tracks not in the ETOPS range the Pilot should refuse.

For Flight Simulator we do not have plotting charts, but we can work out the midway point by using the GPS doing the following :-

Warning do not push the enter button or you will lose your flight plan . Or get an aircraft with a FMC then you can program these equal distance points in.

Push the direct to key on the GPS type in the airport ID it should give a heading and distance to the airport . Note the miles and time then repeat the process with the second airfield and note the distance. Obviously which ever is closer is your diversion airfield. Repeat this on a regular basis.

You therefore need to know the 4 letter ID of the three airports for the flights. It is suggested you use these three airports as standard. It gives you something to do whilst flying the Atlantic. To get yourself onto the Atlantic you can purchase charts from Aerad or Jeppesen. The links are on other parts of the flight school. There is also a North Atlantic Chart for you to purchase at Aerad.

One final note ETOPS often applies in Africa as some airfields close at night and the desert becomes the same as an ocean. Pacific and many other areas of the world require ETOPS considerations it is not only the Atlantic Ocean. Pilots apply this for a diversion airfield plan even when flying short haul using a similar method.

Before an aircraft goes on an ETOPS flight the aircraft has to be certified for the flight. The certificate lasts for one journey only it could allow an intermediate stop. Once the aircraft arrives at the final destination. Another inspection is made before the aircraft is re-certified for the return long distance leg. So an Aircraft could get its certificate issued at Luton for a Journey to Orlando allowing a stop at Newcastle Outbound.

The Boeing 777 is the first airliner to be built certified for 3 hour ETOPS on delivery date.

Dari sejarah perkembangan pesawat diawali dengan menggunakan mesin piston. Mesin piston ini ternyata rawan terhadap failure dikarenakan vibration. FAA sebagai aviation authority membatasi pesawat hanya 60 menit dari alternate airfield.

Setelah memasuki era mesin jet terbukti mesin turbine lebih sedikit vibrasi sehingga lebih reliable, sehingga FAA & ICAO membolehkan pesawat untuk terbang matanya lebih dari 60 menit dalam kondisi One Engine Inoperative.

Dalam ETOPS pesawat harus mendapatkan sertifikasi, engine- airframe pairing juga harus mempunyai failure rate yang rendah. Untuk ETOPS 180 failure harus kurang dari 1/100,000 jam operasi.

Selain itu airline harus mendapatkan sertifikasi juga dari aviation authority. Selain pilot & FOO, maintenance personel juga harus mendapatkan training untuk menghindari kesalahan yang sama terjadi pada dua engine.

Perlu juga diketahui bila suatu airline/pesawat mengalami engine failure rating ETOPSnya bisa diturunkan.

Lebih lengkapnya bisa baca di wikipedia :
http://en.wikipedia.org/wiki/ETOPS


Regards,


Leo Yudianto Nugroho
ATP 737/MD80-90

http://en.wikipedia.org/wiki/Air_navigation

http://groups.yahoo.com/group/AerospaceIndonesia/msearch?ST=Rute+Pesawat&SM=contains&pos=0&cnt=10