Selasa, 30 Desember 2008

Hibah

Ngapusi
Ngerampok uang rakyat
Maling

Cuman menghasilkan tumpukan dokumen sampah
dan pelatihan tidak berguna

Proses dianggap tidak penting
Dokumen adalah hasil lomba menulis indah
Bukan produk dari proses tukar pikiran yang ajek dan diperiksa secara hati-hati, diuji, dikomunikasikan dengan calon pengguna, kemudian baru didokumentasikan.

Pelatihan hanya "dibregne" (dilaksanakan dalam waktu yg hampir bersamaan) di akhir tahun saja bahkan ada yg kelewat tahun.
Padahal setiap pelatihan seharusnya langsung diaplikasikan, kemudian dievaluasi, dan terakhir ditulis sebagai bahan laporan.

Hibah hanya mementingkan pembelian meja, kursi, komputer, viewer, dll

Barang menjadi segala-galanya sehingga menutup pikiran. Sedangkan konsep yg ditanamkan di otak manusia cuman NOL BESAR.

Yaa begitulah kalau pengambil kebijakan adalah orang2 yg gak ngerti "human capital investment". Kalaupun ada yg suka cuap2... cuman bohong saja.

Minggu, 21 Desember 2008

Dosen Teladan

Hari Sabtu tgl 20 Desember 2008 ada pengumuman dosen teladan di STTA. Pengumuman tersebut dilaksanakan pada acara Dies Natalis STTA. Yang lucu, proses penilaian dosen teladan hampir mirip dengan pemilihan “Indonesian Idol”, yaitu melalui angket yg dibagikan kepada tiap-tiap jurusan. Masing2 jurusan mendapat jatah 5 suara. Oleh jurusan kartu suara tersebut dibagikan kepada masing2 dosen untuk memilih siapa yg layak dinobatkan sebagai dosen teladan. Ini jelas sangat subyektif, mirip dengan pemilihan seorang Idol.

Dosen yg terbiasa tebar pesona, senantiasa mengucapkan “selamat pagi, boss”, “siang boss”, berpakaian selalu rapi seperti Presiden SBY maka hampir dapat dipastikan akan menjadi Idol, tidak peduli dia berprestasi atau tidak. Dari sini, prestasi dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu dalam hal Pengajaran, Riset, dan Pengabdian masyarakat jelas tidak penting… jadi ini lucu sekali.

Prestasi dalam hal mencerdaskan mahasiswa, prestasi dalam hal riset-riset yang dapat pengakuan Nasional maupun Internasional. Pengabdian pada masyarakat kok tidak ada perhatian sama sekali ya? Bingung saya.

Hal ini bukan hanya di STTA, dulu ketika saya mengajar STTW (Wastukancana) di Jawa Barat juga demikian. Saya suka ngibul bikin ini dan itu walau tidak pernah terealisir karena tidak ada dana sepeserpun.. ehh dinobatkan sebagai Dosen Peneliti Terbaik, maksudnya dosen yg lain tidak pernah meneliti dan tidak pernah ngibul seperti saya hehehe. Dan penobatannya dilaksanakan di acara Wisuda. Saya merasa tidak punya prestasi apapun malah tidak datang pada penobatan tersebut, jadinya mungkin Yayasan menanggung malu.

Dan lucnya, kejadian serupa juga terjadi di STTA ini. Mungkin hal itu dilakukan karena dosen2nya odob semua, tidak ada yg berprestasi sama sekali. Makanya model pemilihannya seperti itu.

Yogyakarta, 21 Desember 2008

Ardi Cahyono

Selasa, 16 Desember 2008

Mahasiswa Lebih Aktif, ya!

Alumni sebuah perguruan tinggi adalah mencerminkan hasil karya para dosen yang telah mendidiknya. Jika alumninya tidak mampu bekerja, bekal ilmunya tidak cukup, kuper alias kurang pergaulan, tidak bisa eksis di masyarakat, yang menjadi pertanyaan adalah apakah proses yang dilaluinya sudah benar? Apakah dosen-dosennya telah memenuhi standar kualitas sebagai pengajar? Dari sini maka tanggung jawab seorang dosen sangat besar. Kasarannya kalau dosennya odob maka jangan berharap alumninya bisa pintar dan cerdas.

Pernah alumni sebuah perguruan tinggi X di Yogya, setelah bekerja dia tidak mampu membuat program aljabar Bolean, padahal dia adalah alumni jurusan Informatika yg katanya materi tersebut adalah wajib. Kemudian oleh pihak pengguna, kasus tersebut dilaporkan ke perguruan tinggi asal alumni tadi. Kemudian oleh perguruan tinggi yang bersangkutan langsung dilacak, siapa dosen yg mengajar mata kuliah tersebut. Setelah ketemu dosen yg mengajar dan sialnya dosen tersebut memang sering bolos sehingga dengan sangat terpaksa sang dosen harus dieliminasi dari kampus tersebut. Ini menggambarkan bagaimana hubungan sebab-akibat antara dosen dan alumni.

Tapi sebenarnya, dosen tidak hanya dituntut untuk tidak membolos tapi juga harus selalu meningkatkan kualitasnya. Kualitas ilmu maupun kualitas teknik pengajarannya. Dosen yang hanya pandai dalam ilmu tapi kurang ahli dalam menyampaikan materi perkuliahan akan menyebabkan daya serap mahasiswa akan berkurang. Apalagi dosen yang kurang menguasai ilmu akan sulit untuk bisa mengajar dengan baik.

Tapi yang perlu diingat yaitu dosen bukan manusia super yang terbebas dari segala kelemahan, banyak dosen yg sebenarnya tidak begitu menguasai materi atau kurang ahli dalam mengajar.

Untuk itu, maka ada satu solusi yang saya tawarkan, yaitu mahasiswa saya sarankan harus lebih aktif di dalam pembelajaran. Jika ada topik bahasan yg belum dipahami, jangan sungkan-sungkan untuk bertanya kepada dosen atau yang lebih ahli.

Jika mahasiswa bisa lebih aktif, maka akan tercipta sebuah mekanisme saling mencerdaskan di antara mahasiswa. Yaitu mahasiswa yang kurang paham akan meningkat pemahamannya karena bertanya, sedangkan mahasiswa yang lebih pintar dia akan lebih pintar lagi karena dia mengajar. Perlu diketahui, ketika mengajar, otak juga ikut belajar. Dengan mahasiswa aktif akan banyak pikiran saling bertukar sehingga menyebabkan masing-masing peserta diskusi akan meningkat pemahamannya. Makanya, jangan sungkan-sungkan untuk saling diskusi masalah apapun. Jika dalam perdiskusian menemui jalan buntu, coba temui dosen yang bersangkutan atau dosen yang pernah mengajar mata kuliah tersebut untuk meminta penjelasan.

Saya sudah mulai melihat ada forum-forum diskusi mahasiswa di laboratorium, di ruang kuliah, di masjid, di warnet yang diinisiasi secara mandiri oleh mahasiswa STTA. Dari situ saya mulai berharap, semoga STTA ke depan dapat lebih baik.

Yogyakarta, 17 Desember 2008

Ardi Cahyono

Senin, 08 Desember 2008

Airborne Laser Weapon (Kiriman Pak Hadi)

Rekan2 ysh,

Salah satu senjata yang paling ditakuti adalah ICBM atau Intercontinental ballistic Missile. Misil ini bisa mencapai titik dimanapun didunia alias mampu menempuh jarak antar benua, jadi tak ada satu negarapun yang tak bisa dijangkaunya. Misil ini juga bisa dilengkapi dengan banyak misil2 kecil berjumlah banyak (puluhan atau sampai 100?) yang masing2nya bisa diprogram utk menghantam target tertentu. Lebih mengerikan lagi hulu ledak tsb bisa jadi adalah bom nuklir. Yang lebih parah lagi adalah bahwa ICBM itu berkecepatan sangat tinggi, ditembakkan sampai keluar dari atmosfer bumi dan kemudian re-entry alias memasuk atmosfer lagi sebelum melejit ke sasaran. Amerika berusaha membuat anti missile misile, yaitu misil yang bisa dipakai utk menembak jatuh misil seperti ICBM atau misil balistik lainnya (yg jarak dekat ataupun jarak menengah), misalnya saja misil Patriot. Masalahnya adalah Patriot ini sangat mahal, kalau tak salah ingat sekitar $1juta per misil. Lagipula Patriot tidaklah selalu 100% akan berhasil, padahal walaupun hanya 1 misil balistik saja yg lolos dan berhulu ledak nuklir, maka hasilnya akan sangat mengerikan. Amrik dan Rusia dan negara2 yg terancam perang besar2an, pasti ingin punya senjata yang dapat dipastikan akan selalu berhasil menembak jatuh 100% semua misil yg menuju ke negara yg diserang tersebut. Inilah sebabnya mengapa Ronald Reagan sewaktu Presiden memulai R&D utk membuat senjata pemusnah misil yg dikenal sebagai Senjata Perang Bintang atau resminya Strategic Defence Initiatives.

Yang dikembangkan adalah LASER berkekuatan sangat besar (beberapa megawatt) yg dapat ditembakkan sebagai "bola energi" yg terkonsentrasikan, dipancarkan selama beberapa detik dan kalau mengenai sasaran maka sasaran akan menerima panas yg luar biasa dan akan meleleh dan kalau ada hulu ledak didalamnya maka hulu ledak itu akan meledak. Laser ini dibawa oleh sebuah pesawat Boeing 747 khusus yg terbang pada ketinggian diatas 60ribu kaki. Pada ketinggian tersebut jarak pandang dari pesawat sebelum terbatasi oleh kelengkungan bumi adalah sekitar 465 km. Kalau bisa terbang pada ketinggian 30km maka jarak pandang akan meningkat menjadi 600 km. Jadi kalau pesawat berada dipinggir pantai barat dan pantai timur Amrik maka misil yg menyerang Amrik dan masih berada dikejauhan 465 km sudah akan dapat diledakkan dengan senjata laser tsb. Karena sinar laser bergerak dengan kecepatan cahaya, maka mustahil bagi misil yg sudah terdeteksi utk menghindar dari penghancuran oleh sinar laser tsb.

Untuk lengkapnya silahkan baca artikel dibawah ini dan juga silahkan melihat videonya di youtube dialamat berikut

http://www.youtube. com/watch? v=-TqICoTBSJ8

salam

HW

Airborne Laser

The ABL weapon system consists of a high-energy, chemical oxygen iodine laser (COIL) mounted on a modified 747-400F (freighter) aircraft to shoot down theater ballistic missiles in their boost phase. A crew of four, including pilot and copilot, would be required to operate the airborne laser, which would patrol in pairs at high altitude, about 40,000 feet, flying in orbits over friendly territory, scanning the horizon for the plumes of rising missiles. Capable of autonomous operation, the ABL would acquire and track missiles in the boost phase of flight, illuminating the missile with a tracking laser beam while computers measure the distance and calculate its course and direction. After acquiring and locking onto the target, a second laser - with weapons-class strength - would fire a three- to five-second burst from a turret located in the 747's nose, destroying the missiles over the launch area.

The airborne laser would fire a Chemical Oxygen Iodine Laser, or COIL, invented at Phillips Lab in 1977. The laser's fuel consists of the same chemicals found in hair bleach and Drano - hydrogen peroxide and potassium hydroxide - which are then combined with chlorine gas and water. The laser operates at an infrared wavelength of 1.315 microns, which is invisible to the eye. By recycling chemicals, building with plastics and using a unique cooling process, the COIL team was able to make the laser lighter and more efficient while - at the same time - increasing its power by 400 percent in five years. The flight-weighted ABL module would be similar in performance and power levels to the multi-hundred kilowatt class COIL Baseline Demonstration Laser (BDL-2) module demonstrated by TRW in August 1996. As its name implies, though, it would be lighter and more compact than the earlier version due to the integration of advanced aerospace materials into the design of critical hardware components. For the operational ABL system, several modules would be linked together in series to achieve ABL's required megawatt-class power level.

Atmospheric turbulence, which weakens and scatters the laser's beam, is produced by fluctuations in air temperature [the same phenomenon that causes stars to twinkle]. Adaptive optics rely on a deformable mirror, sometimes called a rubber mirror, to compensate for tilt and phase distortions in the atmosphere. The mirror has 341 actuators that change at a rate of about a 1,000 per second.

The Airborne Laser is a Major Defense Acquisition Program. After the Concept Design Phase is complete, the ABL will enter the Program Definition and Risk Reduction (PDRR) Phase. The objective of the PDRR phase is to develop a cost effective, flexible airborne high energy laser system which provides a credible deterrent and lethal defensive capabilities against boosting theater ballistic missiles.

The ABL PDRR Program is intended to show high confidence system performance scalable to Engineering and Manufacturing Development (EMD) levels. The PDRR Program includes the design, development, integration, and testing of an airborne high-energy laser weapon system.

In May 1994, two contracts were awarded to develop fully operational ABL weapon system concepts and then derive ABL PDRR Program concepts that are fully traceable and scaleable EMD. A single contract team was selected to proceed with the development of the chosen PDRR concept beginning in November 1996. Successful development and testing of the laser module is one of the critical 'exit criteria' that Team ABL must satisfy to pass the program's first 'authority-to- proceed' (ATP-1) milestone, scheduled for June 1998. Testing of the laser module is expected to be completed by April 1998. The PDRR detailed design, integration, and test will culminate in a lethality demonstration in the year 2002. A follow-on Engineering Manufacturing and Development/ Production (EMD) effort could then begin in the early 2003 time frame. A fleet of fully operational EMD systems is intended to satisfy Air Combat Command's boost-phase Theater Air Defense requirements. If all goes as planned, a fleet of seven ABLs should be flying operational missions by 2008.

Performance requirements for the Airborne Laser Weapons System are established by the operational scenarios and support requirements defined by the user, Air Combat Command, and by measured target vulnerability characteristics provided by the Air Force lethality and vulnerability community centered at the Phillips Laboratory. The ABL PDRR Program is supported by a robust technology insertion and risk reduction program to provide early confidence that scaling to EMD performance is feasible. The technology and concept design efforts provide key answers to the PDRR design effort in the areas of lethality, atmospheric characterization, beam control, aircraft systems integration, and environmental concerns. These efforts are the source of necessary data applied to exit criteria ensuring higher and higher levels of confidence are progressively reached at key milestones of the PDRR development.

The key issues in the program will be effective range of the laser and systems integration of a Boeing 747 aircraft.


Airborne Laser Resources

The Airborne Laser - A Revolution in Military Affairs Gerald W Wirsig; Diane Fischer (Faculty Advisor) Air Command and Staff College 1997 - The method of employment and the portion of the theater missile defense mission to be performed by the ABL are yet to be determined.
The Airborne Laser Program Homepage
The ABL program is managed by the Air Force Phillips Laboratory.
Airborne Laser Contract
An archive of documents relating to the ABL contract and source selection process. Most of these are excruciatingly boring contract legalese, but this represents the major source of primary program information.
Airborne Laser (ABL) for Theater Missile Defense
The Airborne Laser (ABL) program is developing design concepts to minimize engineering risks for an airborne, high-energy laser weapon demonstrator capable of acquiring, tracking, and killing theater ballistic missiles in boost phase. The Airborne Laser Experiment (ABLEX) was a series of experiments propagating a laser beam between two aircraft. Two defense industry teams, Boeing and Rockwell International, developed design concepts for the ABL which include a nose-mounted turret, achemical oxygen-iodine laser, and a 747 aircraft. At the end of the concept design phase, the Boeing contractor team was selected to build a demonstrator that will be flight tested.
Airborne Laser (ABL)
The Airborne Laser (ABL) Demonstrator Program is an Air Force Advanced Technology Demonstration program to develop and then demonstrate the necessary technologies to acquire, track, and destroy theater ballistic missiles during boost phase.
Phillips Laboratory Scoping Meeting For Airborne Laser
28 March 1995 - A meeting to discuss environmental concerns associated with the Phillips Laboratory's Airborne Laser Program was held April 4, 1995 to solicit public input on any environmental concerns.
BOEING, LOCKHEED MARTIN, TRW WIN AIRBORNE LASER CONTRACT
November 12, 1996 -- The U. S. Air Force awarded a team of Boeing, TRW and Lockheed Martin a $1.1 billion contract to develop and flight test a laser weapon system to defend against theater ballistic missiles.
Airborne Laser @ Boeing
As part of a US Air Force effort to address the feasibility of an airborne laser system for defense against those types of missiles, a team comprised of Boeing, TRW and Lockheed Martin has been exploring the concept of an accurate, airborne, high-energy laser.
Airborne Laser - Rockwell Team
There were initially two teams competing for the program: the Rockwell / Hughes / Raytheon E-Systems / SVS R&D / Lockheed Martin / Parsons / SAIC team, and the Boeing / Lockheed / TRW team. The Airborne Laser contract was awarded on November 12, 1996.
Laser Beam Propagation and Control
SPIE Proceedings Vol. 2120. Meeting Date: 01/23 - 01/29/94 - Abstracts for the papers in this volume are located in this file immediately following the contents list below. All papers are published by SPIE -- The International Society for Optical Engineering. Includes abstracts of reports on the Airborne laser experiment (ABLEX) series of experiments.
Airborne Laser Experiment to study performance limits of turbulence compensation systems
from OE Reports December 1995 issue An interview Russell Butts, Air Force Phillips Laboratory - ABLEX is an acronym for Airborne Laser Experiment, which was an experiment which propagated a laser beam from one aircraft to another aircraft. At the receiver aircraft, an 80-cm telescope and optical system imaged the intensity pattern incident across the aperture onto a focal plane where the intensity patterns were recorded.
FTC NEGOTIATES SETTLEMENT WITH HUGHES OVER ITEK ACQUISITION;
FEBRUARY 9, 1996 - The sale of assets between one of the partners in each of the two teams competing for a $700 million Air Force contract could raise prices or reduce investments in technology and quality for a critical component of an Air Force anti-missile program, the Federal Trade Commission has alleged. Today, the FTC announced it has reached a settlement of these allegations with General Motors and its subsidiaries, Hughes Electronics and Hughes Danbury Optical Systems. The FTC said the settlement will ensure continued competition for "deformable mirrors," part of the adaptive optics system that allow an anti-missile system to correct for distortions in the atmosphere. The affected system is the Air Force's Airborne Laser (ABL) program.
MIT, USAF, And Team ABL Demonstrate Improved Airborne Laser Active Tracking Approach Team ABL Proposes Airborne Laser Weapon System - July 9, 1996 TRW Approved to Begin Manufacturing First Laser Hardware for Airborne Laser System March 10, 1997 Team ABL Successfully Completes A Major Program Milestone, March 26, 1997 Set Lasers on Stun New Solid-State Laser Developed for Airborne Laser Program, Lockheed Martin Press Release, 30 March 2001 -- Lockheed Martin Space Systems Company today announced that its subcontractor, Raytheon Electronic Systems, has achieved a crucial milestone in the development of the Beam Control/Fire Control system for the U.S. Air Force's Airborne Laser (ABL) program. The Beam Control/Fire Control system will aim and fire a high-energy laser at a target missile in its boost

Kamis, 04 Desember 2008

Shuang Guan Qi Xia

Perguruan Shuang Guan Qi Xia (SGQX) adalah sebuah perguruan yang melatih kecerdasan otak dengan cara mengoptimalkan kinerja otak yaitu dalam waktu bersaman dapat berpikir dengan menggunakan 2 otak (otak kanan dan kiri) sekaligus. Perguruan ini didirikan oleh Shifu Yonathan Prunomo.

Metodenya seperti senam biasa (bukan senam bela diri).

Pusat perguruan ini di Surabaya.

Di Yogya bisa juga mengikuti latihan SGQX, setiap hari Jum'at jam 16.00 -17.00 di Auditorium RRI Jogja, Jl. Affandi - Gejayan, Contact: SGQX Jogja - +62 274 415511

http://sgqx.wordpress.com/

http://www.sgqx.net/