Salah satu tema yang pernah mencuat dalam diskusi para aktivis tahun 90-an adalah Kemiskinan Struktural.
Kemiskinan struktural bukan terjadi karena seseorang malas bekerja (kemiskinan cultural), namun adanya kemiskinan struktural ini karena disebabkan oleh sistem.
Contoh konkrit adalah kemiskinan yang menimpa para petani. Sejak jaman Soeharto, petani adalah golongan yang mengalami pemiskinan secara struktur karena harga pupuk yang sangat tinggi sedangkan harga jual beras sangat rendah.
Konsep kemiskinan struktural ini saya kira sudah ada sejak jaman kerajaan di mana para abdi dalem dimiskinkan secara struktur. Sedangkan para bangsawan hidup dalam kemewahan.
Dosen STTA, saya kira juga mengalami pemiskinan struktural.
STTA ini setidaknya memiliki tiga input harta yaitu harta berasal dari mahasiswa, kedua dari bantuan pemerintah melalui dana-dana hibah, dan terakhir dari Yayasan.
Harta dari mahasiswa menurut hitungan kasar saya adalah sekitar 3,36M dalam setahun. Harta dari hibah perkiraan saya sudah mendapatkan sekitar 3M. Yayasan sangat kuat sehingga mampu memberikan lahan, bangunan, dan fasilitas lainnya.
Dari situ tidak heran jika STTA merupakan anak emas yayasan dibandingkan anak yang lain yaitu Unnur dan Unsuria.
Tapi anehnya, gaji dosen kok minim sekali yaitu 17,5rebu persks untuk dosen S2 dan 15rebu untuk dosen S1. Standar gaji ini sangat primitif dibandingkan gaji di kampus-kampus lain di Yogya.
Sedangkan gaji pokok dosen sekitar 320rebu... Alamak, ya nasib.
1 komentar:
perlu kesadaran kolosal untuk menghindari pemiskinan struktural seperti ini.
Posting Komentar